Semua tak lagi sama. Joana merasakan kekosongan yang kini mendekap hatinya. Satu hari sudah ia hidup tanpa kehadiran Mahesa. Wanita paruh baya itu hanya bisa diam di dalam kamar Mahesa sembari memeluk hoodie yang biasanya dipakai sang putra.
"Kamu sekarang bahagia, kan, Kak?"
Senyum pedih terlukis di bibir pucat Joana. Teringat oleh permintaan terakhir sang putra sebelum napas terenggut. Joana semakin menyadari kasih sayang Mahesa pada Jayden begitu besar meski kenyataan bahwa mereka bukan saudara kandung terungkap.
"Mama dan Papa bakal kabulin permintaan terakhir kamu. Mama harap kamu bisa tenang di atas sana."
Joana teringat dengan pembicaraannya bersama Jishan dan Ansel tentang transplatasi mata untuk Jayden. Ada sesak dan bahagia yang mengiringi kehidupannya setelah kepergian Mahesa. Wanita itu bahagia karena tak lama lagi Jayden akan mampu melihat warna. Namun di sisi lain ia merasakan sesak ketika nanti mata sang putra sulung ada pada si bungsu.
***
"Jay! Buruan bangun. Lo nggak sekolah?"
"Bang, ini udah kesiangan."
Netra itu terbuka perlahan. Kedua tangannya refleks terangkat demi mengucek matanya. Dua remaja cowok berseragam SMA telah berada di kamar sembari menatapnya jengah. Jayden masih berusaha memproses apa yang terjadi.
"Sekolah? Sat, Ner?"
"Iya, Jayden. Buruan mandi. Itu Kak Hesa udah nungguin di ruang makan."
Kebingungan Jayden semakin menguat saat Satria dan Nero menyebut nama Mahesa. Melihat raut wajah sang sahabat, Satria pun angkat bicara.
"Lo lupa? Kan kakak lo mulai hari ini sekolah umum. Dia udah sembuh."
Jantung Jayden pun berpacu lebih cepat begitu mendengar penjelasan Satria. Tanpa memedulikan kedua sahabatnya yang tentunya merasa kesal karena diabaikan, Jayden melangkah cepat menuju ruang makan. Dan benar saja apa yang diucapkan Satria.
Mahesa terlihat tampan dengan seragam SMA yang membalut tubuhnya. Tak ada lagi wajah pucat yang biasanya terlukis di sana. Bahkan tubuh itu terlihat berisi dan sehat.
"Kak ... Hesa?"
Mendengar sang adik memanggil namanya, Mahesa pun menoleh. Seutas senyum tercipta di bibirnya. Cowok itu melambaikan tangan, memberi gestur pada Jayden untuk mendekat.
"Ini udah hampir jam setengah tujuh, Dek. Buruan mandi. Kita berangkat sekolah bareng-bareng. Nanti kamu anter Kakak dulu ke ruang kepsek."
"Kak, beneran udah sembuh?"
Mahesa terkekeh pelan. Pikirnya, mungkin Jayden masih belum percaya ia telah menang melawan sakit yang bertahun-tahun ia pikul. Cowok itu berdiri seraya mengusak helaian rambut sang adik.
"Udah. Kakak nggak perlu lagi minum obat. Kakak udah sembuh total."
Sejujurnya, Jayden masih merasakan kejanggalan dalam hati. Namun alih-alih mengungkapkan, cowok itu lebih memilih diam. Ia melihat ke arah dapur di mana Joana yang masih menyiapkan makanan.
"Adek, buruan mandi."
"Aneh lo, Jay. Kakak lo ini udah sembuh. Lo kok malah bengong?"
Jayden terkesiap. Satria dan Nero telah duduk di meja makan sembari menunggunya. Dengan langkah terbata, ia kembali ke kamar untuk persiapan ke sekolah. Cowok itu berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah awal dari kebahagiaannya.
Tak butuh waktu lama bagi Jayden untuk bersiap ke sekolah. Kini seragam telah membalut tubuhnya, begitu pun tas yang telah tersampir di bahu. Setelah dirasa penampilannya telah sempurna, Jayden melangkah pelan menuju ke ruang makan lagi. Begitu melihat keluarga dan sahabatnya di sana, Jayden refleks menghela napas. Apalagi matanya menangkap presensi Mahesa yang tampak menikmati nasi goreng yang dimasak Joana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Fiksi RemajaJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...