Cukup Kakak yang Sakit, Jangan Adek

1.8K 122 13
                                    

Vote and comment are apreciated

Semalam suntuk Jayden tak bisa tidur dengan nyenyak. Selain hawa dingin yang memeluk tubuh, tidur dalam kegelapan adalah kesialan lain baginya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan kejadian di masa lalu selalu menari-nari di otaknya. Cowok itu baru bisa tidur ketika subuh.

"Bangun!"

Baru beberapa menit berlalu sejak ia bisa terlelap, Jayden merasa ada yang menendang-nendang tubuhnya. Mata Jayden terbuka walau hanya segaris. Sosok Jason berdiri dengan wajah angkuh di hadapannya. Jayden berusaha untuk mendudukkan tubuhnya, namun terasa sulit karena rasa pening mulai datang.

"Ck! Haidar, Mahen, buruan seret dia keluar dari area sekolah kita sebelum anak-anak dateng."

Dua cowok yang Jason panggil pun mengangguk patuh. Tanpa berperasaan, keduanya menyeret paksa tubuh Jayden. Bahkan di saat Jayden mengeluh pusing dan nyeri pada kakinya, mereka tetap tak acuh.

"Mampus lu."

Jayden terdorong ke depan. Suasana yang masih terlalu pagi membuat ketiga anak nakal itu bisa leluasa melakukan perundungan pada Jayden. Wajar saja, ini masih jam 5 pagi.

"Ingat, Jay. Ini akibatnya kalau lo belagu."

Jason menempeleng kepala Jayden. Tangannya yang sejak tadi membawa tas milik Jayden pun segera terulur untuk menyerahkannya pada si empunya.

"Cabut, Guys."

Ketiga anak nakal itu pun melesat pergi meninggalkan Jayden yang kini masih kesulitan untuk sekadar melangkah. Cowok itu berusaha untuk berdiri. Hingga saat ia mampu bertumpu dengan kedua kakinya sendiri, ia mulai melangkah dengan pelan sembari menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya.

"S-Sat ...,"

Jayden terpaksa harus merepotkan sahabatnya sepagi ini. Namun demi apa pun, kakinya sudah tak kuat untuk menopang tubuhnya. Seluruh tubuhnya sakit karena harus tidur di lantai.

"Jay? Lo kenapa?"

"S-Sakit."

"Gue otw ke rumah lo--"

"G-Gue nggak di rumah. Gue di jalan deket sekolah Jason."

Samar-samar Jayden mendengar Satria mengumpat. Jayden tak begitu mendengar karena kini fokusnya tertuju pada seluruh tubuhnya yang sakit dan kepala yang seperti baru saja tertimpa beban berat.

"Shareloc, buru. Biar gue jemput."

Jayden menurut. Cowok itu mengirim lokasinya saat ini meski dengan tangan yang bergetar. Sesekali ia meringis saat pusingnya semakin mendominasi. Matanya menelisik ke berbagai arah. Ada beberapa pejalan kaki yang mulai berdatangan.

Selama beberapa waktu ia menunggu Satria, sahabatnya itu pun telah sampai. Cowok itu datang masih dengan piyama tidurnya.

"Kenapa lo bisa kayak gini, Jay? Apa yang Jason lakuin ke lo?"

Jayden tak menjawab. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya sangat berat. Dan Satria memaklumi. Meski kesulitan, Satria berhasil membantu sang sahabat untuk naik ke atas motornya.

"Tahan dulu. Pegangan."

***

Satria tak bisa begitu saja menginterogasi sang sahabat. Keadaan Jayden jauh dari kata baik. Bahkan sebelum mengantar cowok itu pulang, Satria memaksanya untuk berobat ke klinik terdekat. Bagaimana Satria tak khawatir? Lutut Jayden terlihat memar kebiruan, suhu tubuhnya pun panas, begitupun wajah itu pucat seperti tanpa dialiri oleh darah.

"Loh, Den Jayden kenapa?"

Bibi Asih yang tengah menyapu teras terperangah kaget melihat Jayden yang ada dalam gendongan Satria.

"Nggak tahu, Bi. Mending bantu aku buat siapin bubur. Soalnya obat demamnya harus diminum setelah makan."

Bibi Asih mengangguk. Ia berniat untuk pergi ke dapur, namun suara Satria kembali menginterupsinya.

"Bi, orang tua Jayden?"

"Oh, Tuan dan Nyonya udah pergi dari beberapa menit lalu. Ada kerjaan pagi."

Satria mengangguk paham. Cowok itu pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar Jayden. Bahkan ia tak menyadari ada Mahesa yang menatap Jayden dengan tatapan khawatirnya.

"Sat, adek gue kenapa?"

Pantas saja perasaan Mahesa tak enak sejak kemarin. Nyatanya Jayden dalam keadaan terluka. Cowok itu mengikuti langkah Satria hingga masuk ke dalam kamar sang adik.

"Nggak tahu, Bang. Adek lo ini tahu-tahu udah ada di pinggir jalan tadi."

Mata Mahesa memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Apalagi saat cowok itu menggenggam tangan sang adik. Hawa panas menyapanya.

"Bang, ini gue mau ke sekolah," Satria melirik jam di ponselnya. "Udah setengah 7 lebih pula."

Mahesa yang paham dengan maksud Satria pun mengangguk, memberi gestur mengizinkan sahabat dari adiknya untuk pulang.

"Biar gue aja yang jagain Adek."

Satria tahu Mahesa tak seperti kedua orang tuanya, cowok itu bisa tenang. Selepas itu, Satria pun melesat pergi meninggalkan area rumah Jayden.

***

Mahesa menempelkan plester penurun demam di kening sang adik. Mata itu masih terpejam sejak Satria mengantar Jayden pulang. Bubur yang dimasak Bibi Asih pun terpaksa harus disimpan di dapur lagi karena Mahesa tak tega membangunkan Jayden.

"Jangan sakit, Adek. Cukup Kakak aja yang sakit."

Mahesa mengusap pelan dadanya, di mana biasanya rasa sakit itu bersarang. Dibanding melihat sang adik yang terluka seperti ini, Mahesa lebih memilih hidup berteman sakit.

"K-Kak, takut gelap."

Mahesa terpekur. Cowok itu melihat sang adik yang mengigau. Pikiran Mahesa dipaksa untuk mengingat kejadian kelam yang menimpa Jayden di masa lalu.

"Adek?"

Mahesa menepuk pelan kedua pipi sang adik, berharap kedua mata itu terbuka. Namun bukannya terbangun, Jayden tak berhenti mengigau. Mau tak mau Mahesa pun harus memeluk sang adik, sama seperti bertahun-tahun lalu saat hubungan persaudaraan keduanya belum merenggang.

"Cepet sembuh adek. Jangan sakit."

Tbc

Stuck. Mau semedi dulu nyari inspirasi

(Nggak bisa kasih bonus foto, sinyal jelek) 😿



















Everlasting Pain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang