"Aku benci Papa! Adek aku sakit. Kaki Adek kena ular!"
Mahesa menangis seraya memukul kasar sosok papa yang kini masih menggendongnya. Bocah itu akhirnya bisa membujuk papanya untuk membuka pintu gudang di mana pria itu menghukum Jayden tanpa ada rasa kasihan. Namun sayang semua terlambat. Jayden jatuh tak sadarkan diri akibat gigitan hewan melata yang tanpa sengaja ia senggol.
Tak hanya Mahesa yang ketakutan, pria muda itu juga merasakan hal yang sama. Jishan memang sulit mengatur emosi. Dan di saat Jayden ketahuan mencontek, amarahnya meluap begitu saja.
"Kakak, Papa minta maaf. Kakak jangan takut. Adek baik-baik aja. Jangan nangis terus, ya. Nanti kamu susah napasnya."
Ucapan Jishan sama sekali tak mampu membuat Mahesa merasa tenang meski ia telah berhenti menangis. Dalam hati bocah itu, tumbuh rasa sesal. Jika saja ia tahu hukuman yang didapat Jayden berakhir adiknya harus berjuang antara hidup dan mati, Mahesa akan mencegah Jishan menghukumnya.
"Dok, gimana keadaan putra saya?"
Jishan langsung melemparkan pertanyaan pada dokter dan seorang ners yang baru saja keluar dari ruang rawat Jayden.
"Syukurlah kami berhasil mengeluarkan bisa ular di dalam tubuh anak Bapak. Keadaannya sudah membaik. Kalian bisa melihatnya."
Helaan napas lega keluar dari bibir Jishan. Pria muda itu lantas mengucapkan terima kasih pada sang dokter sebelum akhirnya masuk ke ruangan di mana Jayden terbaring. Pandangan Jishan langsung tertuju pada si bungsu yang tengah menangis dalam diam.
"Adek!"
Si sulung ikut menangis melihat sang adik yang meneteskan air mata. Begitu Jishan menurunkannya dari gendongan, bocah itu segera naik ke atas kursi demi bisa memeluk Jayden.
"K-Kak Hesa, takut. Gelap banget. U-Ular takut."
***
Kening Javier mengerut saat melihat ada pergerakan dari kakak kembarnya. Lantas setelahnya seulas senyum terbit. Ada rasa lega saat menyadari Jayden mulai terbangun.
"Kakak?"
Tangannya terulus untuk mengusap kening sang kakak. Ada sengatan tak kasatmata saat melihat perban terpasang di kedua netra Jayden. Entah bagaimana reaksi saudaranya, Javier takut menghadapi remuknya hati kakak kembarnya.
Kepala terbalut perban itu menggeleng dengan gerakan pelan. Bibir dari balik masker oksigen itu terbuka, seolah ingin membuka suara.
"Kakak, sabar. Aku panggil dokter sama papa dulu."
Javier membawa kakinya melangkah cepat untuk memanggil dokter. Lagi-lagi melupakan nurse call yang seharusnya tinggal ia tekan untuk memanggil para petugas medis. Kepanikan bercampur rasa lega membuat pikirannya tak sinkron.
"Dok, tolong. Kakak saya udah bangun."
Javier memanggil dokter yang menangani Jayden dengan sedikit agak keras. Mendengar panggilan dari keluarga pasien, dokter bernama Amira itu mengangguk singkat. Ia dan dua orang ners segera melangkah sigap menuju ruang rawat Jayden. Sementara Javier melangkah berlawanan arah demi memanggil papanya.
Begitu Dokter Amira memasuki kamar rawat Jayden, ia cukup terkejut mendapati sang pasien bergerak gelisah hingga darah mengalir dari sela jarum infus yang hampir lepas. Namun semua memang sudah ia prediksi mengingat kedua mata cowok itu diperban hingga tak mampu melihat apa pun.
"Ners, tolong pegangin pasien," Dokter Amira memberi interuksi singkat, "Mas Jayden tenang."
Mendengar seseorang memegangi kedua kaki dan tangannya semakin membuat Jayden panik sekaligus takut. Dalam pikirannya hanya terdengar kesunyian dan suara ular yang seolah semakin mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
JugendliteraturJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...