"Kak, jangan capek ya. Papa lagi usaha nyari donor buat kamu."
Sejak tiga hari yang lalu, sosok yang Joana jaga sepenuh hati tak kunjung membuka mata. Mahesa dinyatakan koma oleh dokter. Hal itu mampu meruntuhkan pertahanan sepasang insan itu. Tubuh ringkih itu telah lama menanggung beban lara sepanjang hidupnya. Joana tahu Mahesa lelah. Namun sebagai seorang ibu, Joana tak pernah siap untuk kehilangan Mahesa.
"Sembuh ya. Pasti. Nanti kalau Kakak udah sembuh, Kakak bisa sekolah umum."
Seolah ada sengatan tak kasatmata di hatinya, Joana merasakan perih yang mengendap. Air matanya tak luput menemani hancurnya hati wanita paruh baya itu.
"Maafin Mama ya, Kak. Mama nggak bisa ajak Adek buat jenguk kamu."
Tangannya dengan hati-hati menyeka bulir keringat yang membasahi wajah sang putra. Ingatannya tertuju pada si bungsu yang kini juga tengah memeluk kehancuran atas keadaannya. Joana pun tahu tentang Javier yang menghilang. Wanita itu tak mungkin lagi menambah luka untuk Jayden. Perasaan sesal itu hingga kini masih mengungkungnya.
"Kakak, kalau Kakak mau bangun, Mama bakal kabulin semua permintaan Kakak. Apa pun itu. Asal kamu bangun ya?"
Kata dokter, pasien yang mengalami koma memang bisa mendengar setiap ucapan orang yang ada di sekitarnya meski tak mampu merespon. Itulah kenapa Joana dan Jishan sejak Mahesa dinyatakan koma tak pernah lelah mengajak sang putra untuk mengobrol.
"Papa kamu sekarang lagi coba nanya ke dokter soal donor paru-paru buat kamu, Kak. Sabar ya."
Sebuah pukulan terberat saat dokter mengatakan organ tubuh itu tak lagi berfungsi. Bahkan putranya harus dibantu dengan ventilator oksigen karena kondisinya sangat parah.
Joana bahkan sesekali harus memalingkan wajah karena merasa tak tega sekaligus ngilu melihat alat medis itu yang menembus tenggorokan sang putra.
"Kak?"
Mata Joana berbinar saat ia merasakan tangan dingin sang putra yang ada dalam genggamannya bergerak. Ada sebuah harapan saat perlahan mata itu mulai terbuka walau hanya segaris.
"Kak, Mama panggilin dokter ya."
Tangan dalam genggamannya memberi respon. Dan Joana paham sang putra tak ingin ia memanggil dokter. Dapat Joana lihat Mahesa ingin bernicara, namun tak mampu membuka suara. Wajar saja karena bibir pucat itu tersumpal ventilator.
"Kakak mau ngomong? Gimana kalau ditulis di kertas aja? Mama bantuin nulis."
Kebetulan di laci meja ada kertas dan pena. Joana pun meraihnya demi membantu Mahesa mengutarakan apa pun yang bersarang di pikirannya. Tangan Joana meraih jemari kurus itu dengan penuh hati-hati.
"Ayo, Kak. Gerakin jari kamu. Pelan-pelan aja."
Joana membimbing Mahesa untuk menggoreskan penanya. Cukup lama karena tenaga Mahesa yang belum kembali. Bahkan tulisannya cukup berantakan. Namun saat Mahesa berhasil menggoreskan kata demi kata pada kertas itu, dada Joana sesak luar biasa. Seolah ada beban berat tak kasatmata yang menghimpit.
Capek. Mama. Mataku buat Adek
Air mata Mahesa meluruh. Rasa sakit itu tak hilang sejak ia kembali membuka mata. Cowok itu bahkan tak mampu mendeskripsikan seperti apa rasa sakit yang memborbardir tubuhnya. Melihat Joana yang kini tampak hancur membuat Mahesa merasa bersalah. Namun demi apa pun, ia lelah. Mahesa ingin menyerah. Tak ada lagi semangat untuk memperjuangkan kesembuhan.
"Nak, Mama panggil dokter dulu ya."
Joana memilih menghindar. Tak siap baginya untuk menuruti keinginan putra sulungnya. Wanita itu memang akan mengabulkan semua keinginan Mahesa, namun ia tetap belum siap mengabulkan permintaan Mahesa untuk menyerah. Ibu mana pun tak akan pernah rela kehilangan buah hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Ficção AdolescenteJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...