Decakan kesal keluar dari bibir Ansel. Sudah berhari-hari ia berjuang mencari keberadaan Javier. Pria itu mengerahkan banyak orang agar si bungsu segera ditemukan. Namun hingga kini belum ada titik terang. Jika saja ia lebih peka dengan keadaan Javier, ia mungkin bisa mencegah semua ini terjadi. Melihat Jayden yang lebih membutuhkan Mahesa dibanding saudara kembarnya sendiri pasti membuat Javier merasa berkecil hati.
"Nak, kamu di mana?"
Pria itu mengapit sepuntung rokok yang telah tersisa setengah. Di kala rumit membelenggu otaknya, rokoklah yang menjadi pelariannya. Suasana di smoking area Blessing Cafe cukup senyap. Hanya ada Ansel yang ada di sana.
"Tuan, saya ada kabar tentang Mas Javier."
Seorang pria yang sengaja ia pekerjakan untuk membantu mencari Javier datang dengan langkah tegapnya. Hingga saat ia sampai di hadapan Ansel, pria itu kembali bersuara untuk menjelaskan info yang ia dapatkan bersama teman-teman yang lain.
"Apa?"
"Kemungkinan besar Mas Javier nggak pergi ke luar negeri. Kami udah pergi ke beberapa bandara, tapi nggak ada nama anak Tuan di list penerbangan ke luar negeri. Justru kami menemukan nama Mas Javier di penerbangan menuju Jogja."
Setitik cahaya seolah menerangi hidup Ansel yang telah redup berhari-hari. Pria paruh baya itu mengulas senyum samarnya. Si sulung pasti bahagia mendengar kabar ini.
"Cari Javier sampai dapet. Tapi jangan sampai ketahuan sama Javier. Saya takut dia kabur lagi."
Si bawahan mengangguk patuh. Lantas ia pun berpamitan pergi demi menyelesaikan tugasnya. Meninggalkan Ansel yang kembali duduk sembari menyesap sisa rokoknya. Tangannya merogoh saku celananya demi meraih ponsel pintarnya. Sebuah foto yang ia ambil bersama kedua putra kembarnya sebelum penculikan itu terjadi menyapa indera oenglihatannya. Ada sesak yang membelenggu saat ia memokuskan pandangannya pada si sulung.
"Tuhan, anakku nggak salah. Aku yang salah. Andai aja dulu nggak gegabah ngasih Jayden ke Jishan, mungkin semua nggak akan jadi gini."
***
Mahesa melangkah dengan kaki terseok. Sekuat tenaga ia mempertahankan tubuhnya agar tak tumbang di hadapan sang mama. Yang ia tahu, Joana tengah berada di dapur. Bibir tanpa rona itu sesekali meringis lirih karena gelombang rasa sakit itu kembali datang. Jantung yang telah lama rusak itu tengah memberontak.
"S-Sakit ya Allah," lirihnya.
Tangannya yang gemetaran ia paksa mendorong pintu kamar sepelan mungkin. Hingga ketika ia berhasil menginjak lantai kamar, tubuh Mahesa meluruh ke lantai. Mahesa bersandar rapuh pada pintu sembari tangannya yang tak berhenti mengusap dada.
Raganya memang kian ringkih. Sakit itu semakin intens merajam tubuhnya. Apalagi beberapa waktu belakangan ini ia memaksakan tubuhnya untuk terus lebih kuat demi sang adik. Dan sekarang Mahesa tengah menikmati laranya seorang diri. Cowok itu kepayahan menghadapi monster yang tak berhenti menyiksanya sejak ia pulang dari rumah Jayden.
Matanya berkali-kali terpejam dengan ringisan lirih lolos dari kedua belah bibirnya. Sejujurnya keputusasaan itu telah lama ia genggam. Mahesa merasa perjuangannya untuk sembuh sia-sia. Apalagi di saat salah satu penyemangatnya untuk sembuh memilih pergi.
"Kakak, buka pintunya ya. Ini Mama."
Mahesa tak mampu membuka suara. Bahkan hanya untuk bernapas pun cowok itu kesulitan. Meski sakit itu belum sirna, Mahesa berusaha untuk melangkah terseok menuju ranjangnya. Jarak ranjangnya yang sebenarnya dekat seolah menjadi jauh di mata Mahesa.
"Ya Allah, sakit."
Hanya tersisa beberapa langkah lagi ia berhasil menggapai ranjang, namun rasa pusing yang membelenggu kepalanya semakin membuatnya kepayahan. Mahesa tak mampu menahan berat tubuhnya sendiri. Cowok itu jatuh tersungkur hingga keningnya terantuk meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Ficção AdolescenteJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...