Semua orang yang mengenal Jayden tahu, cowok itu adalah pribadi yang hangat pada siapapun. Meski ia bukan anak berprestasi di bidang akademik, namun Jayden tetap menjadi idola sekaligus panutan bagi banyak orang. Kecerdasannya standar seperti kebanyakan pelajar lain. Jayden yang mereka tahu adalah cowok pemilik senyum manis. Si penebar kebahagiaan bagi siapapun.
Mereka yang mengenal Jayden selalu melihat cowok itu hidup dalam balutan cinta dari semua orang. Tanpa tahu bahwa orang yang mereka anggap tak punya beban hidup nyatanya tak pernah mencecap bahagia. Namun Jayden tak mempermasalahkan. Cowok itu justru ingin selalu menutupi luka abadi yang mengendap dalam hati. Dan hanya dengan Satria dan Nero, cowok itu mau melepas topengnya.
"Nero, gue nanti nginep di rumah lo boleh?"
Si empunya nama mengerutkan keningnya. Matanya menelisik wajah sang sahabat yang memang terlihat suram. Cowok berdarah Jepang - Indonesia itu bukannya tak mau Jayden menginap, justru ia senang karena ada teman di rumah. Hanya saja, ia perlu tahu keadaan hati Jayden.
"Baru berantem sama papanya. Lo lihat aja bibirnya. Jay dapet tamparan." Satria berceletuk.
Nero baru menyadari ada lebam keunguan pada sudut bibir Jayden. Dan fakta bahwa Jayden mendapat kekerasan dari orang tuanya sendiri membuat hati cowok itu meradang.
"Mau sampai kapan, Bang?"
Jayden tahu maksud ucapan sahabatnya karena bukan sekali dua kali ia mendapat ceramah manis dari orang tua kandungnya sendiri. Dan sampai detik ini, Jayden tak mampu menjawab. Katakanlah Jayden bodoh. Hanya saja cowok itu masih menaruh harapan besar pada Jishan dan Joana.
"Gue ... gue masih yakin mereka bakal sayang gue, Ner."
Satria mendengkus. Sudah tak terhitung berapa kali ia mendengar jawaban serupa. Ia hanya tak tega melihat Jayden yang hidup dalam tekanan dan ketidakadilan dari orang tuanya sendiri.
"Inget, kesabaran ada batasnya, dan lo tau, kita berdua bakal siap buat bantu lo, kapanpun itu."
Senyum teduh terlukis di bibir Jayden. Bersama dengan dua sahabatnya membuat Jayden merasa dihargai. Ketiganya telah lama bersahabat. Tak ada rahasia apa pun yang disembunyikan, termasuk permasalahan keluarga Jayden.
"Cil, tumben lo bisa bijak gini? Belajar dari mana?"
Nero menoyor pelan kepala Satria yang hobi meledeknya. Tak sakit sama sekali, namun ini Satria. Cowok paling lebay dan tak jaim jika sudah bersama orang-orang terdekatnya. Satria mengaduh sembari mengusap keningnya membuat Jayden dan Nero memutar bola matanya malas.
"Kagak usah lebay ...," Jayden mengapit kepala Satria hingga si empunya mengaduh yang dibalas tawa lepas dari Nero.
Ketiganya pun tenggelam dalam larutnya kebersamaan. Tak peduli malam segera menjemput. Bersama sahabat membuat Jayden seolah tak memiliki beban. Bahkan tanpa mengenal lelah, ketiganya memilih bermain basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Teen FictionJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...