Komen ya. Biar semangat. Aku biasanya suka bales telat (balesnya pas update berikutnya biasanya). Mungkin aku kalau komen next, aku cuman like, karena bingung balesnya apa.
❀❀❀
"Nggak usah janji, Pa. Mending urus aja orang penyakitan itu."
"JAYDEN!"
Jayden diam saja saat Jishan membentaknya. Sudah cukup terbiasa rungunya mendengar teriakan dan makian dari kedua orang tuanya. Sebenarnya ia tak sampai hati mencaci Mahesa, ada sudut hatinya yang terasa perih saat ia tanpa sengaja mengucapkan kalimat kasar itu. Matanya melirik ke arah Anara, memberi kode agar wanita itu segera mengusir Jishan. Cukup. Jayden belum siap harus menghadapi ketidakadilan yang dilakukan mereka.
"Sebaiknya Anda pulang. Jayden akan tinggal di sini."
"Dia anak saya. Saya berhak membawanya pulang."
Anara tersenyum sinis. Menghadapi orang tua egois di hadapannya cukup membuatnya emosi. Tangan lentiknya maju demi menyeret tubuh jangkung papa dari Jayden itu. Cantik dan anggun seperti itu jangan dikira akan selalu bersikap lembut jika ada yang membuatnya jengkel.
"Lebih baik Jayden tinggal di sini atau di rumah Reana kalau di rumahnya sendiri cuman dijadiin pelengkap."
Anara berniat menutup pintu saat berhasil menyeret Jishan keluar sebelum akhirnya urung karena tiba-tiba saja pria itu berlutut di depannya. Kedua tangannya bersidekap dada, melihat dengan angkuh sosok yang sejak tadi ingin ia hadiahi bogem mentah.
"Tolong, Anara. Izinkan saya bawa Jayden. Mahesa butuh Jayden."
Jika saja Jayden ada di sini, pasti cowok itu akan kembali terluka. Anara saja merasa hatinya seolah tersengat saat dengan tanpa perasaan Jishan mengucapkan kalimat itu, seolah hadirnya Jayden tak ada artinya.
"Maaf, saya nggak rela Jayden cuman dijadikan pelengkap kebahagiaan Mahesa."
Jishan menghela napas frustrasi. Harus dengan cara apalagi agar Jayden mau untuk pulang. Sejak Mahesa bangun, sulungnya selalu menanyakan keberadaan Jayden.
Bahkan ia harus pasrah saat Anara tanpa ragu kembali menutup pintu rumah. Meninggalkan Jishan yang mengumpat kasar.
Pria itu melangkah gontai meninggalkan area kediaman Anara. Saat ia akan memasuki mobil, ponselnya berdering.
"Halo, Mas. Gimana? Jay mau pulang, kan? Ini dari tadi Hesa nanyain terus."
Jishan menghela napas pelan. "Nggak mau pulang. Anara juga nahan aku buat bawa Jay pulang."
Terdengar suara helaan napas kasar di seberang sana. Jishan pun tak mampu berbuat apa pun. Ini memang kesalahannya yang masih belum mampu membagi adil kasih sayangnya. Ada sesuatu dalam diri Jayden yang membuatnya belum mampu memandang Jayden selain karena kondisi mahesa.
"Bujuk sampai bisa, Mas. Demi Mahesa. Aku nggak mau kehilangan Mahesa."
Jishan mengembuskan napas panjang. Ada sesak yang mengungkung hati. Beban yang ia tanggung cukup besar atas keputusannya bertahun-tahun silam.
"Tentu, Sayang. Aku juga nggak mau orang itu nemuin Jayden."
***
Jayden bukanlah orang yang tega melihat saudaranya sakit. Cowok itu tahu Mahesa kembali terbaring di rumah sakit. Hanya saja ia belum siap untuk menjenguk kakaknya. Ada luka yang baru saja Mahesa torehkan untuknya.
"Kenapa lo tega, Kak?"
Jayden menatap wallpaper yang menampilkan sosok 2 anak kecil yang tengah tersenyum. Itu adalah fotonya bersama Mahesa beberapa tahun silam. Saat di mana Jayden belum mengenal luka. Ucapan Jishan menegaskan bahwa Jayden memang tak memiliki ruang kosong di hati kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Ficção AdolescenteJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...