Jayden sudah kembali sehat. Tubuhnya yang kemarin lemas kini telah kembali fit. Cowok itu memang tak pernah membutuhkan waktu lama untuk memulihkan kondisi tubuhnya ketika sembuh dari demam. Dan sekarang cowok itu telah rapi dengan seragam yang membalut tubuhnya. Embusan napas pelan keluar dari bibirnya. Semenjak Jishan dan Joana menjanjikan kasih sayang yang adil untuknya, sejujurnya cowok itu masih diselimuti keraguan.
"Harusnya lo seneng, Jay."
Jayden terkekeh hambar. Setelah sekian tahun ia hidup dalam bayang-bayang Mahesa, kini kedua orang tuanya menawarkan kebahagiaan untuknya. Cowok itu memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar untuk menuju ruang makan.
Terlihat dari pandangannya, Joana tengah menyiapkan beberapa menu makanan. Bibirnya melukis senyum tipis saat mendapati ada makanan kesukaannya. Seporsi nasi goreng dengan campuran udang di sana. Masakan sederhana sebenarnya. Hanya saja selama ini sang mama jarang memasakkannya untuk Jayden.
"Adek sini!"
Jayden terkesiap. Sang kepala keluarga melambaikan tangan ke arahnya seraya melempar senyum hangat padanya. Nada bicaranya begitu lembut hingga cowok itu masih merasa asing.
Langkah kakinya tampak ragu ke arah meja makan. Namun Jishan memaklumi. Biar bagaimanapun, bertahun-tahun si bungsu mereka abaikan.
"Duduk di samping Papa sini."
Meski jantungnya berdebar tak karuan, namun tak dapat dipungkiri bahwa relung hatinya menghangat. Cowok itu bahkan kesulitan untuk membuka suara. Bingung ingin merespon apa atas perhatian yang Jishan dan Joana berikan.
"Nasi goreng udang kesukaan Adek. Mama bikin ini dengan cinta. Iya kan, Kak?"
Mahesa yang juga tengah menikmati menu makan sehatnya mengangguk semangat. Cowok berwajah pucat itu melempar senyum hangat pada sang adik yang masih belum bereaksi apa pun.
"Dimakan Adek. Keburu dingin nasgornya."
"M-Makasih, Ma, Pa," ucap Jayden terbata. "makasih Kak Hesa. Adek seneng."
Kak Hesa
Mahesa tak berhenti mengulas senyum saat sang adik telah kembali seperti dulu. Kembali menggunakan tutur kata yang sudah sejak lama ia rindukan. Tak ada lagi kata lo-gue yang Jayden gunakan untuknya.
"Sama-sama, Adek," Mahesa mengusap punggung Jayden lembut. "bahagia terus ya, Dek."
Air mata Mahesa luruh. Kali ini Mahesa tak merasakan sesak saat cairan bening itu turun. Sebaliknya, perasaan hangatlah yang kini menguasai. Cowok itu memeluk sang adik dari samping. Tak sia-sia ia sabar menghadapi kerasnya hati Jayden. Adik laki-laki manisnya telah kembali.
***
"Makasih ya, Mas nasi uduknya. Semoga Mas Jayden selalu dikasih kebahagiaan sama Gusti Allah."
"Aamiin!"
Jayden memberikan nasi uduk terakhirnya pada seorang bapak tua yang tengah bersiap mencari nafkah. Pagi ini ia kembali berbagi pada sesama. Kegiatan ini memang rutin ia lakukan hampir setiap hari. Bedanya, hari ini ia membeli makanan untuk orang di sekitar sekolahnya dalam jumlah yang lebih besar.
Suasana hati cowok itu memang sedang sangat baik. Bahkan ia tak melunturkan senyumnya sejak tadi. Hatinya sedang dipeluk oleh kehangatan. Perlakuan keluarganya pagi ini semakin membuatnya yakin bahwa ia berharga untuk mereka.
Kini ia kembali menuju ke sekolah setelah setengah jam lebih ia berkeliling membagikan sarapan untuk banyak orang. Di sepanjang jalan, Jayden selalu melempar senyum hangat pada siapapun yang berpapasan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Fiksi RemajaJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...