Jalanan di malam ini masih agak ramai. Banyak kendaraan lalu lalang di depannya. Namun cowok itu abai. Tas ranselnya yang cukup besar teronggok mengenaskan di samping tempatnya duduk. Jayden persis seperti tunawisma yang numpang tidur di emperan toko. Wajahnya tertunduk di atas lipatan lututnya. Udara yang memeluknya tak ia hiraukan.
"Bang."
Samar-samar Jayden mendengar suara Nero. Kepalanya mendongak. Ia mendapati sahabatnya berdiri di hadapannya dengan tatapan memancarkan keprihatinan.
"Ayo ke rumah gue."
Nero tak tahu masalah apa yang tiba-tiba bertumpu di bahu sang sahabat. Namun cowok itu bisa menebak ini adalah masalah keluarga.
"Biar gue yang bawain. Lo buruan masuk mobil."
Nero memilih menjemput Jayden dengan mobil karena pasti keadaan sang sahabat jauh dari kata baik. Dan dugaannya benar. Nero memasukkan ransel besar itu di kursi samping kemudi, sedangkan dirinya langsung masuk ke kursi belakang.
"Pak, jalan ya."
Ada hening yang menemani. Nero tak bisa langsung menginterogasi sosok rapuh di sampingnya ini. Perasaan sang sahabat pasti masih sangat kacau. Yang Nero lakukan kini hanya memberi usapan lembut pada bahu yang sejak bertahun-tahun lalu menopang beban berat. Cowok itu sempat terkesiap saat mengetahui tubuh Jayden panas.
"Bang, lo udah makan?"
"Tadi udah di tempat perkemahan."
Mereka telah memasuki area pelataran rumah. Cowok itu bersiap membantu Jayden untuk melangkah saat tahu sahabatnya itu hampir limbung. Namun Jayden adalah sosok keras kepala. Cowok itu tetap ingin melangkah sendirian.
Kini mereka telah sampai di kamar bernuansa gelap milik Nero. Melihat keadaan sang sahabat yang masih demam, Nero memutuskan untuk menunda interogasinya. Matanya kini memandang Jayden dengan tatapan nanar. Merasa prihatin dengan nasib yang harus dijalani sahabatnya.
"Tidur aja dulu, Bang. Tenang, masih ada gue sama Bang Sat."
Jayden tak merespon. Perasaannya masih belum membaik karena masih terbayang semua perkataan orang tuanya yang mampu menusuk hati.
"Maaf ngerepotin, Ner."
Nero berdecak kesal. "Ini sahabat lo, Bang. Gue nggak ngerasa direpotin."
Nero membenarkan selimut yang membungkus tubuh Jayden sembari tangannya meraba kening sang sahabat yang masih panas.
"Gue mau ke dapur dulu buat ambil air hangat buat kompres lo. Lo mending tidur, Bang."
Nero bangkit dari duduknya, lantas setelahnya melangkah keluar. Tak benar-benar langsung ke dapur. Tangannya merogoh saku celananya untuk meraih ponsel pintarnya.
"Halo, Bang."
Mata Nero melirik ke dalam kamar. Jayden telah tenggelam dalam lelapnya. Hal itu membuat Nero bisa bernapas lega.
"Halo. Kenapa, Cil?"
Nero menghela napas kasar. "Bang Jay ada di rumah gue."
"Hah? Kok bisa?!"
Nero refleks menjauhkan ponsel dari telinganya saat Satria berteriak di seberang sana.
"Kayaknya dia lagi berantem sama orang tuanya deh. Bang Jay telepon gue minta jemput."
Ada hening yang menemani. Sepasang sahabat itu terdiam sejenak.
"Bang, gue nggak tega. Dia duduk ngeringkuk di emperan toko sendirian dalam keadaan demam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Fiksi RemajaJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...