♡♡♡Jayden merasa hidup tengah dipermainkan. Baru saja hari kemarin ia mencecap kebahagiaan, kini ia harus mendapat luka baru. Dan justru orang tuanya lagi yang menjadi tokoh antagonis.
"Ma, Pa, aku cuman minta kalian adil. Tapi kenapa gini lagi?"
Jayden menatap kedua orang tuanya dengan pandangan terluka. Akhir pekan ini yang harusnya menjadi hari untuk melepas penat justru sebaliknya.
"Maaf, Dek. Tapi kami lupa beli 4 tiket pesawat. Kami cuman beli 3 tiket. Kamu ngalah dulu sama kakak kamu ya."
Jayden mendengkus kesal. Matanya memandang kakaknya dengan tatapan kecewa. Ia pikir kebahagiaan itu berhasil ia genggam. Nyatanya semua hanya sementara. Pagi ini ia harus menelan kekecewakan papa dan mamanya pergi berlibur akhir pekan ke Lombok tanpa dirinya dengan alasan lupa membelikan tiket untuknya.
"Emang di pikiran kalian cuman Mahesa, Mahesa, dan Mahesa kan? Fine! Gue tinggal main sama temen gue aja."
Jayden melenggang pergi meninggalkan 3 anggota keluarganya. Tanpa memedulikan sang kakak yang menyerukan namanya. Cukup sekali baginya percaya pada mereka. Pada akhirnya ia akan selalu terlupakan.
"ADEK! Dengerin penjelasan Kakak dulu!"
Jayden membanting kasar pintu kamarnya hingga membuat suara memekakkan telinga. Namun cowok itu tak peduli. Air matanya meluruh begitu saja seiring dengan tubuhnya yang melemas. Cowok itu menumpukan kepalanya di atas lutut. Menangis dalam diam.
"Apa kalau gue mati, kalian akan seneng?"
***
Jayden melangkah lunglai di pinggir jalan. Mood-nya hari ini memang sangat buruk. Cowok tak berhenti mengumpat dalam hati. Baru saja ia akan bersantai siang, Satria meneleponnya. Meminta cowok itu datang ke rumahnya. Namun begitu ia sampai di sana, ia hanya mendapati seorang ART saja. Katanyanya, Satria tengah pergi menjemput mamanya. Namun selama 2 jam lebih ia menunggu, sang sahabat tak kunjung pulang. Jadilah ia nekat untuk pergi meninggalkan rumah Satria.
"Satria bangsat."
Jayden menendang sembarang apa pun yang ada di dekat kakinya. Namun tak berlangsung lama, sebuah suara mengaduh memgalihkan atensinya. Matanya menyipit saat mendapati seorang cewek tengah mengelus kakinya yang sedikit memar.
"S-Sorry, lo kena--"
"Lo ini kalau jalan kakinya bisa kalem nggak, sih?!"
Jayden meringis. Suara cewek yang ada di depannya memang cukup membuat gendang telinganya pengang. Namun cowok itu pasrah saja saat ia mendapat makian. Di sini dirinyalah yang bersalah.
"G-Gue bawa ke rumah sakit ya? Maaf, nggak fokus."
Jayden menatap ngilu lutut si cewek yang memang terlihat memar kebiruan. Di luar dugaan, cewek itu menepuk kasar bahu Jayden hingga si empunya mengaduh.
"Nggak usah. Cuman luka kecil juga. Lain kali jalannya yang fokus. Kakinya yang kalem."
Si cewek mendengkus kesal, lantas melangkah pergi meninggalkan Jayden yang menunduk dalam. Mata Jayden mengamati si cewek berambut blonde hingga menghilang dari pandangannya.
"Satria, kalau ketemu, gue timpuk lo pakai gitar gue."
Jayden kembali melangkahkan kakinya. Jemarinya dengan lincah menari di atas layar ponsel. Cowok itu memesan ojek online untuk menuju rumah Nero. Kuda besi kesayangannya tadi tiba-tiba saja macet, tak tahu kenapa. Padahal belum lama ini ia baru saja menyervisnya.
***
"Sorry, Bang. Gue lagi main sama temen. Udah dulu ya."
Umpatan kasar lagi-lagi keluar dari bibir Jayden. Saat dihubungi, Nero mengatakan ia ada di rumah. Tapi ketika Jayden telah sampai, sahabat bocilnya satu ini malah tak ada di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Ficção AdolescenteJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...