⚠️ Jgn sangkutpautin agama asli member enhypen dengan yang ada di ceritaku, nggak bermaksud disrespect ke privasi member, hanya aja aku cuman pinjem visualnya aja ⚠️
Selama beberapa hari ini pikiran Jayden semakin terbuka. Ada banyak luka yang menghiasi hidup Javier. Ada beban tersembunyi yang dipikul oleh sang adik. Kehilangan Cantika bahkan masih meninggalkan luka yang begitu dalam di hati sang adik. Topeng yang dipakai Javier sangat tebal. Bahkan dulu ketika mereka bersitatap, Jayden mengira hidup Javier bahagia tanpa beban.
Beberapa hari ini Jayden selalu mendapati Javier bermimpi buruk tentang kejadian di masa lalunya bersama Cantika. Bahkan hal yang membuatnya takut adalah Javier yang diam-diam menyimpan obat tidur.
"Adek, ada Kakak di sini. Mama di atas sana udah bahagia. Kita di sini juga harus bahagia."
Jayden berhasil mengambil obat tidur yang Javier ingin minum. Beruntung adiknya tak menolak. Meski air muka sang adik terlihat keruh, setidaknya Jayden berhasil menghalangi tindakan nekat itu.
"Kak, gue nggak apa-apa. Jangan dipikirin ya."
Jayden rasanya ingin menempeleng kepala adiknya. Siapa pun pasti akan sependapat dengannya bahwa Javier memang tak baik-baik saja. Wajah yang pucat dengan pandangan tanpa binar. Tak tahan dengan topeng yang ditunjukkan sang adik, Jayden lantas membawa tubuh itu ke dalam rengkuhan.
"Hidup itu harus siap dengan kehilangan. Ada pertemuan, ada juga perpisahan. Kepergian Mama Cantika itu udah takdir. Lo pikir dengan lo terpuruk gini, mama bakal seneng? Nggak, Dek. Yang mama butuhin bukan rasa bersalah lo. Tapi doa. Doa anak yang berbakti sama orang tua."
Tubuh Javier menegang. Kalimat terakhir yang diucapkan sang kakak kembar cukup menamparnya. Sejujurnya sejak kepergian Cantika, cowok itu jarang me time dengan Tuhan. Ketika down pun, Javier lebih memilih melarikan rasa sakitnya dengan hal negatif seperti minum obat tidur atau membenturkan kepalanya hingga pening itu datang. Tanpa ingat bahwa ada Tuhan yang Maha Sempurna yang menunggu cowok itu berserah pada-Nya.
"Kak, maaf."
"Maaf kenapa deh?"
Javier memejamkan matanya. Merenung dalam diam. Terlalu malu mengakui bahwa ia telah jauh dari Tuhan.
"A-Ajarin gue salat. Gue udah lupa cara salat." Javier lantas menunduk. Cukup malu mengakui bahwa ia bukan manusia yang taat pada agama.
Jayden sama sekali tak memandang Javier negatif. Justru cowok itu tersenyum hangat. Dalam hati ada rasa lega yang membuncah. Melihat adik kembarnya yang meminta hal kebaikan membuat Jayden diselimuti oleh perasaan bahagia.
"Tentu. Nggak ada kata terlambat, Dek."
***
Suasana malam ini cukup canggung. Lebih tepatnya Jayden yang belum terlalu terbiasa mengobrol bersama Ansel. Hari telah larut, namun sepasang papa dan anak itu masih duduk di ruang keluarga.
"Jay ...,"
Suara itu menyapa rungu Jayden. Matanya memandang sosok pria dewasa di depannya dengan keraguan yang membuncah. Sejak kepulangan Jayden di rumah ini, ia baru pertama kali bisa berbincang dengan Ansel, papa kandungnya yang baru ia ketahui sempat ingin membuangnya ke panti asuhan. Pria dewasa itu selalu disibukkan dengan pekerjaan kantor. Bahkan atensi Jayden pun sempat terabaikan.
"Apa ... apa Papa tahu Javier sakit?"
Mata Ansel memyipit. Ada debaran menyakitkan yang kembali ia rasakan. Mendengar kata sakit membuat perasaan takut dalam diri Ansel muncul. Kembali terbawa mundur ke masa lalu di mana ia harus kehilangan Cantika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Fiksi RemajaJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...