Melihat Mahesa

890 94 19
                                        

Show up, please. I made this part when my brain couldn't make even one sentence. Apalagi biasku sekaligus visual ceritaku lagi sakit, jadi makin blank kemarin :)

Sayang banget sama Jay. Jay udah aku anggep kayak adekku sendiri. Mungkin di mata orang, keliatan lebay, tapi tadi begitu Jay join live nya Riki auto mataku basah. Kangen banget. Dia di dorm sendirian, nggak bisa ikut perform music core Japan.

Maaf kalau part ini nggak nge-feel sama sekali

♡♡♡

Javier melangkah pelan menuju ruangan di mana saudara kembarnya dirawat. Kata papanya, Jayden telah selesai melakukan operasi sejak 2 jam lalu. Perasaannya tak akan tenang jika belum melihat keadaan Jayden dengan mata kepalanya sendiri. Makanya cowok itu memaksa ners yang kebetulan sedang melakukan visit ke kamar rawatnya untuk mengantarnya bertemu sang kakak. Tak ada satu saudara pun yang akan tenang ketika mengetahui saudaranya yang lain berjuang untuk dapat melihat dunia.

Senyum tipis terbit di bibir Javier saat matanya menangkap Jayden yang berbaring dengan selimut sebatas dada. Ada dua perban yang terpasang sempurna di netra kembar itu. Begitu ia telah sampai di samping ranjang Jayden, cowok itu langsung duduk di sana.

"Papa?"

Javier menggapai tangan Jayden yang terulur ke atas. Mengetahui siapa si pemilik tangan, entah kenapa membuat hati Jayden menghangat, hingga tanpa sadar air mata lolos.

"Kak Jay kenapa?"

Tangan Javier terulur mengusap cairan bening yang meluruh dari kedua netra Jayden. Mengira sang kakak mungkin saja tengah dirundung kesedihan. Namun ketika sebuah kalimat keluar dari bibir Jayden, hati cowok itu menghangat.

"Adek, please jangan pergi. Jangan sakit lagi."

Kedua belah bibirnya tersenyum tipis. Javier merasa matanya memanas. Rasa haru menyeruak. Dengan lembut cowok itu memeluk kembarannya. Membisikkan kata penenang sekaligus untaian rasa terima kasih atas kasih sayang yang mengalit untuknya.

"Gue udah baikan, Kak."

Terpaksa kebohongan ia berikan agar sang kakak tak menaruh rasa khawatir lagi padanya. Walau kenyataannya kepalanya masih terasa pening. Namun Javier masih bisa mengendalikan tubuhnya. Bagi Javier, kembarannya adalah penawar dari segala rasa sakit. Dan melihat Jayden yang akan segera menjemput kebahagiaannya adalah penawar terbaiknya.

"Mata Kak Jay gimana?"

Javier meraba pelan perban yang terpasang apik di kedua mata sang kembaran. Tak berani untuk berlama-lama menyentuh karena takut akan menyakiti Jayden.

"Nggak sakit kok. Cuman kadang agak nyeri di mata."

Jayden berkata jujur. Seringkali pasca operasi, matanya terasa nyeri. Namun tak membuat Jayden merasa terganggu. Wajar saja karena kornea matanya baru saja diganti dengan yang baru. Javier yang mendengarnya pun cukup lega. Selama ia hanya bisa terbaring di ranjang rumah sakit, rasa takut menghantui cowok itu.

"Oh iya, Dek. Lo tahu nggak siapa yang donorin matanya buat Kakak?"

Saat kalimat itu keluar dari bibir Jayden, ia tak mampu menjawab. Cowok itu pun juga tak mengetahui tentang identitas pendonor. Setiap kali Javier bertanya pada Ansel, pria itu selalu menghindar. Seakan ada sesuatu yang sengaja disembunyikan oleh sang papa.

***

"Lo bego atau gimana sih, Kak? Gue udah niat buat PDKT-in Jayden. Kenapa ganti rencana?"

Tentu saja hati Chelia meradang. Ia ingat pernah membuntuti Jayden dan pura-pura bertubrukan dengan cowok itu. Namun dengan tiba-tiba, sepupunya mengubah rencana. Cewek itu mengambil sepuntung rokok, lantas menyalakan tanpa memedulikan pelototan tajam Jason. Bibir terbalut liptint natural itu mengapit rokok seraya menghisapnya.

Everlasting Pain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang