Jayden mendapatkan pesan misterius itu lagi. Kali ini semakin membuat keyakinan tentang status hubungannya dengan keluarga Jishan semakin menguat. Cowok itu mengembuskan napas berkali-kali karena rasanya terlalu sesak. Dadanya seolah tertimpa beban yang begitu berat.
Bahkan tanpa sadar air mata telah berlomba untuk keluar. Pipinya basah, dan Jayden tak memiliki niat untuk menyekanya. Cowok itu membaca berulangkali pesan misterius itu tanpa menyadari senja hampir meredup. Jayden masih duduk di depan gerbang tempat kerjanya seorang diri.
"Jay."
"Jayden Shankara!"
Mendengar nama lengkapnya diteriakkan, Jayden terperanjat. Cowok itu bahkan baru menyadari kehadiran Satria di hadapannya. Menatapnya dengan raut wajah bingung bercampur khawatir.
"Bentar, lo nangis? Kenapa?"
Pertanyaan Satria terdengar menuntut, membuat Jayden terlihat gelagapan.
"G-Gue cuman kangen sama Kak Hesa."
Terdengar dengkusan kasar dari Satria. Jayden tahu pasti alasannya akan membuat sang sahabat jengkel. Sebenarnya jawaban Jayden tak sepenuhnya bohong. Cowok itu memang merindukan Mahesa. Perasaannya pun tak tenang sejak ia mulai meninggalkan rumah. Hanya saja hatinya masih basah oleh luka yang mereka ciptakan. Ada secuil kekecewaan saat tahu Mahesa meminta Jishan dan Joana untuk pura-pura menyayanginya.
"Udah lah. Jangan dipikirin lagi. Sekali-kali egois, Jay. Lo berhak bahagia."
Satria menarik tubuhnya dengan paksa hingga kini telah berdiri. Kedua tangan Satria menepuk bahu Jayden pelan.
"Jadi egois untuk kebahagiaan kita itu boleh, Jay. Lo udah berkorban bertahun-tahun."
Mendengar nasehat Satria membuat Jayden kembali memikirkan niatnya kemarin untuk menghilang dari jangkauan keluarganya. Namun keraguan itu masih menguat mengingat dalam lubuk hati Jayden, masih ada rasa cinta dan harapan pada mereka.
"G-Gue nggak bisa, Sat. Gue sayang Kak Hesa. Dan gue masih berharap mama dan papa sayang ke gue."
Satria tak bisa memaksa lebih keras lagi pada Jayden. Biar bagaimana pun, Satria tak mampu merasakan sebesar apa luka yang dipendam Jayden. Cowok itu akhirnya hanya mampu memeluk sang sahabat seraya memberi dorongan semangat.
"Ya udah. Ayo pulang. Gue anter. Lo pasti pegel abis kerja."
Omong-omong soal pekerjaan Jayden saat ini, awalnya Nero dan Satria marah. Bahkan sempat menentang keputusan Jayden untuk bekerja. Wajar mereka tak mengizinkannya bekerja. Jayden masih remaja berusia 16 tahun yang seharusnya belum boleh memasuki dunia kerja. Namun pada akhirnya Jayden berhasil meyakinkan keduanya tentang pekerjaan yang ia jalani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Teen FictionJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...