Part spesial buat Kak sativaaa20
Mentari pagi menyongsong dari ufuk timur. Kicauan burung menemani Jayden yang kini tengah memainkan bola orange kesayangannya. Hari ini ia libur karena tanggal merah. Hal itu dimanfaatkan Jayden untuk kembali mengasah permainan basketnya setelah beberapa minggu disibukkan dengan sekolah dan bekerja.
"Kak Jay, boleh ikut main?"
Suara seseorang menginterupsinya untuk berhenti men-dribble bola. Namun keterkejutan datang saat mengetahui siapa yang kini ada di sampingnya. Sosok yang katanya memiliki ikatan darah dengannya.
"L-Lo?"
"Iya. Gue ... gue adek kembar lo. Javier. Pasti papa udah jelasin, kan?"
Javier mencoba menahan perasaannya saat berhasil bersitatap dengan sang kembaran. Jika saja tak ada masa lalu pahit yang sempat hadir, tubuh kakaknya pasti ia sudah raih tanpa ingin ia lepas.
"Gue ... mau main sendiri."
Jayden kembali men-dribble bola orange-nya tanpa memedulikan raut wajah Javier yang seketika muram. Namun dengan cepat Javier mencoba menghalau rasa sesaknya. Ia memaklumi reaksi Jayden padanya. Bibir itu melukiskan sebuah senyum yang jarang ia tunjukkan.
"Kak, tujuh tahun lalu gue hampir mati."
Mendengar kata mati keluar dari bibir sang kembaran, jantung Jayden bertalu. Bahkan tanpa sadar ia menghentikan permainan basketnya walau tanpa menatap Javier.
"Tujuh tahun lalu umur kita 10 tahun. Hari itu, hari di mana gue tahu, gue punya saudara kembar. Sekaligus hari di mana mama memilih nyerah."
Javier memilih membuka luka lama, meski dadanya kembali sesak bukan main. Cowok itu mengembuskan napas pelan demi mengenyahkan rasa perih yang bersarang di hati. Matanya terpejam sesaat sebelum akhirnya tersenyum pedih menatap punggung sang kembaran.
Javier kecil baru saja pulang dari bermain di rumah tetangga. Di tangannya tergenggam bola sepak. Bocah itu menatap ke sekeliling ruangan demi mencari keberadaan kedua orang tuanya. Namun rungunya malah menangkap sebuah keributan dari lantai atas.
"Mas, anak aku nggak tahu kabarnya gimana. Semua ini gara-gara kamu!"
"Cantika, tolong sabar. Aku juga masih nyari Jayden. Jishan sekarang pindah, dan aku kehilangan jejak."
Meski Javier masih bocah 10 tahun, namun ia mampu menangkap situasi dengan tanggap. Bocah itu segera menaiki tangga demi menghampiri kedua orang tuanya.
"Aku nggak bisa tenang kalau anak aku belum ketemu. Javier harus tahu kalau dia punya kakak kembar."
Mata Javier membola saat mendengar ucapan Cantika. Kenyataan bahwa ia memiliki saudara membuat perasaan bocah itu menjadi semakin rumit. Dengan pelan, Javier membuka pintu kamar kedua orang tuanya.
"Sayang, aku tahu aku salah. Aku udah nukar Jayden dengan uang. Tapi itu terpaksa, Sayang."
Apalagi saat tahu papanya sendiri yang telah membuatnya berpisah dengan Jayden. Bocah itu tak bodoh untuk tak mampu memgartikan kata menukar Jayden dengan uang. Tanpa sadar buliran bening itu lolos dari kedua netra Javier.
"Jadi Jav punya kakak kembar?"
Bocah itu tak peduli kalau mereka marah karena menguping. Namun kenyataan ini membuat Javier terluka.
"Nak, sejak kapan?"
"Papa, Papa jahat! Mama juga kenapa diem aja? Kakak? Aku punya kakak kembar."
Bocah yang emosinya masih labil itu melesat pergi meninggalkan kamar kedua orang tuanya. Cantika yang kalut pun segera mengejar sang putra. Dalam hati ia merutuk karena tak ingat Javier bisa pulang bermain kapan saja.
Matanya melihat Javier yang masih berlari menuruni tangga. Dan kini sang putra berlari ke luar rumah, membuat Cantika semakin mempercepat langkahnya. Teriakan Ansel pun tak wanita itu hiraukan.
"Jav!"
Mata Cantika membola saat sang putra tersandung di tengah jalan raya. Sebelum semua terlambat, wanita itu segera berlari menghampiri Javier yang kini sulit untuk berdiri. Saat ia ingin menggendong sang putra, semua terlambat. Sebuah mobil datang dari arah kiri secara tiba-tiba. Tanpa bisa menghindar, Cantika semakin mempererat pelukannya pada Javier, demi melindungi sang putra.
Sepasang ibu dan anak tanpa mampu dicegah tertabrak dan keduanya terpental cukup jauh. Javier merasakan seluruh bagian tubuhnya ngilu. Kepalanya seolah ingin pecah karena rasa pusing yang datang menyerang.
"M-Mama ...,"
Mata sayu Javier menatap Cantika yang telah terpejam sempurna. Tangan wanita itu masih memeluknya dengan erat. Ia ingin berbicara, namun rasanya berat. Suaranya seolah tertahan. Apalagi saat putih mulau menjemput seiring dengan kesadarannya yang kian terenggut. Suara bising orang-orang yang mengerubunginya tak lagi ia tangkap dalam rungunya.
Jayden terpekur. Tubuhnya telah sepenuhnya berbalik ke arah sang kembaran. Matanya mendapati Javier yang menangis dalam diam. Ada bagian dari hatinya yang terasa perih saat buliran bening itu lolos dari kedua netra sang adik.
"Mama pergi gara-gara gue, Kak. Gara-gara nyelametin gue."
Masih teringat dalam ingatannya saat tubuh sang mama telah menyatu dengan bumi. Saat itu ia tak berhenti menangis sepanjang hari. Bahkan berawal dari hari itu, Javier telah berhasil memupuk rasa dendam pada papanya sendiri. Butuh waktu satu tahun lama untuknya menerima kepergian Cantika.
"Maaf, Kak. K-Kalau seandainya lo nggak mau pulang ke gue, gue ikhlas."
Javier tersenyum pedih. Dadanya sesak. Apalagi ketika Jayden menolaknya. Mungkin memang sang kakak telah terlanjur nyaman hanya memiliki Mahesa sebagai saudara.
"Gue pergi dulu, Kak."
Cowok itu berbalik dan melangkah lunglai. Namun baru beberapa langkah, suara sang kakak yang memanggilnya membuat Javier mematung.
"Javier, tunggu!"
Javier takut ini hanya halusinasi. Namun suara langkah mendekat disertai seruan namanya membuat Javier kembali berbalik. Dan Javier semakin dibuat syok saat kakak kembarnya memeluknya tiba-tiba.
"Kakak, lo--"
"Jav ... Adek, gue mau pulang."
Pikiran Javier mendadak blank. Cowok itu bahkan sudah merasa hopeless tentang harapannya membawa Jayden kembali pada keluarganya. Namun tanpa ia sangka, Jayden ingin pulang.
"Bentar, lo panggil gue dengan sebutan adek?"
"I-Iya, apa lo risih?"
Dalam dekapan hangat kakak kembarnya, Javier menggeleng pelan. Baginya, panggilan itu terdengar manis. Sudah selama tujuh tahun ini ia mengharapkan Jayden memanggilnya dengan sebutan adik.
"Kak, serius lo mau pulang?"
Javier takut semua angannya sirna. Cowok itu hanya ingin memastikan bahwa semua yang ia alami saat ini bukanlah mimpi.
"Iya. Gue udah yakin. Lo saudara kandung gue."
Javier tersenyum bahagia untuk pertama kali. Mata cowok itu terpejam sembari dalam hati melantunkan berbagai kata terima kasih pada Tuhan.
Penantiannya bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Cowok itu melepas pelukan hangat kakaknya. Matanya terlihat jelas memerah karena buliran bening yang terus mengalir.
"Kak, andai aja ada mama, pasti dia seneng banget anak yang selalu dia tunggu kepulangannya, sekarang udah pulang."
Jayden merasa hatinya seolah tersengat. Kenyataan pahit tentang kepulangan Cantika membuat perasaan Jayden diselimuti lara. Bahkan wajah wanita yang melahirkannya pun belum pernah ia lihat.
"Sebelum pulang, kita ke rumah abadi mama. Kakak mau?"
Tbc
(Sinyal jelek, jadi nggak bisa kasih bonus)
Btw bentar lagi ending
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Dla nastolatkówJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...