Mode ngebut biar cepet ending 😺
★★★
Keluarga kecil Ansel baru saja menginjakkan kaki di rumah. Kedua putranya pun telah beristirahat. Mereka sebenarnya memiliki kamar masing-masing, namun Javier memilih tidur bersama sang kakak. Kangen katanya. Mendengar hal itu, tentu saja hati Ansel menghangat.
Pria itu menyandarkan tubuhnya di sofa sembari memejamkan mata. Cukup lelah karena perjalanan Yogyakarta - Bandung cukup memakan waktu meski mereka melewati jalur udara. Saat ia hampir terlelap, getar ponsel dalam sakunya membuatnya kembali membuka mata.
"Jishan?"
Timbul rasa muak saat melihat nama orang tua angkat Jayden tertera dalam layar ponsel. Namun pria itu akhirnya tetap memaksakan diri untuk mengangkat sambungan telepon dari orang di seberang sana.
"Halo, kena--"
"Ansel, b-boleh ngobrol sebentar. Jangan tutup teleponnya dulu."
Ada yang janggal dalam hati Ansel. Suara musuhnya di seberang sana terdengar berbeda. Bahkan Ansel hampir tak mendengar karena suara Jishan begitu lirih dan serak.
"Iya. Kenapa Anda telepon saya?"
Ada keheningan selama sepersekian detik. Ansel pun merasa, ia harus sabar menunggu jishan membuka suara lagi.
"Hesa. Pu-tra saya meninggal."
"Hah? Anda ... Anda nggak lagi bohong?"
Ansel tanpa sadar menegakkan tubuhnya. Kabar di seberang sana membuat hatinya meragu. Namun entah kenapa sisi hatinya yang lain mempercayai. Lantas rungu Ansel mendengar kekehan hambar, terasa menyakitkan.
"Untuk apa saya berbohong?" Satu jam lalu, Mahesa pulang. Dan hingga di detik terakhir Hesa, dia minta sesuatu sama saya dan Joana."
Jantung Ansel berpacu dua kali lipat. Matanya refleks menoleh ke arah di mana kamar putra sulungnya berada. Kabar ini pasti akan sangat menyakitkan didengar Jayden. Ansel belum siap memberitahu kabar duka ini.
"Mahesa ... minta m-matanya didonorkan buat Jayden. Buat adek yang selalu dia utamain kebahagiaannya."
Ponsel itu tanpa sadar terjatuh di sofa. Pikiran buruknya tentang Mahesa, tentang keluarga itu terkikis. Tergantikan oleh kerumitan dan rasa sesak yang mengendap di hati. Kendati gawai itu tak lagi ia genggam, namun suara Jishan masih terdengar samar dari seberang sana.
"Awalnya ka-mi nggak setuju. Sejak beberapa hari lalu, Mahesa selalu minta nyerah. Hesa selalu bilang 'Adek, mata ini buat Adek' dan kami masih egois. Sampai tadi Hesa akhirnya nyerah. Dia tetep minta hal yang sama."
Ansel mengembuskan napas kasar. Kembali ia lirik ke belakang, takut kedua putranya mendengar pembicaraan ini. Pria itu perlu mempersiapkan kata-kata yang tepat untuk memberitahu si kembar, apalagi pada Jayden. Tangannya kembali meraih gawai pintarnya. Menunggu ucapan yang Jishan sampaikan. Lidahnya masih terlalu kelu untuk membuka suara.
"Dan saya maupun Joana udah sepakat. Kami akan memenuhi permintaan terakhir Mahesa. Ini juga sebagai bentuk penebusan dosa kami pada Jayden."
Helaan napas kembali Ansel keluarkan. "Saya akan segera ke rumah Anda. Kapan Mahesa dimakamkan?"
"Besok. Saya tahu Jayden akan sangat terpukul. Tapi jika saya boleh meminta, biarkan Jayden menerima donor mata dari Mahesa, sampai sembuh dulu. Jangan sampai dia tahu mata yang dia dapat dari kakaknya sendiri."
Ansel tentu saja menyetujui. Katakanlah ia adalah orang yang jahat. Tapi jika sampai Jayden tahu Mahesa meninggal ssbelum operasi donor mata, pria itu yakin Jayden akan lebih memilih memeluk kegelapan seumur hidupnya. Masa bodoh jika ada yang memandangnya negatif. Semua ini demi sulung yang sejak lahir telah ia beri luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Fiksi RemajaJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...