"Dok, bagaimana kondisi anak saya?"
"Tadi dia ngeluh perutnya sakit sama mual."
Dia membenarkan letak stetoskopnya yang ada di leher. Matanya memandang teduh sosok pria paruh baya yang kini tengah menunggu penjelasan media darinya tentang kondisi putranya.
Saat ini keduanya ada di ruangan dokter, bersebelahan dengan putra dari pria paruh baya itu yang kini masih berbaring. Sang dokter mempersilakan orang tua pasien untuk duduk di depan meja kerjanya.
"Anak Bapak baik-baik aja. Untung cepet dibawa ke sini, Pak. Asam lambung anak Bapak naik. Apa anak bapak sering makan makanan yang mengandung minyak dan makanan pedes? Kalau iya, tolong kurangi. Saya akan memberi resep obat. Bapak tinggal ke bagian Instalasi Farmasi di dekat pintu utama rumah sakit. Di sana ada petugas farmasi yang akan menyiapkan obat yang saya resepkan."
Pria paruh baya itu mengangguk mengerti. Lantas setelahnya membantu sang putra turun dari ranjang untuk duduk di atas kursi roda setelah sang dokter memberitahu bahwa putranya tak perlu rawat inap.
"Dokter, terima kasih banyak."
Sang dokter sekali lagi mengangguk sembari tersenyum ramah. Ia pun menyandarkan tubuhnya pada kursi setelah tak ada lagi antrian pasien.
"Kak Hesa, capek sih jadi dokter. Tapi aku seneng bisa ngobatin orang."
Matanya menatap sebuah bingkai foto dirinya bersama Mahesa dan Javier yang ada di atas meja kerjanya. Sebuah keberuntungan sebelum Mahesa pulang, mereka sempat mengambil foto bersama. Jayden tersenyum mengingat masa lalunya. 11 tahun telah berlalu. Kini ia telah berhasil menyandang gelar sebagai dokter. Meski profesinya masih sebagai dokter umum, namun ia tetap bangga. Kini usianya telah menginjak 27 tahun.
"Kakak pasti bangga sama adek, kan?"
Pria itu mengembuskan napas pelan. Merasa sedikit penat karena jadwal prakteknya kadang tak menentu. Jayden sadar, menjadi dokter membuatnya harus siap kapan saja diminta untuk bertugas.
Saat ia tengah fokus menetralkan perasaannya, sebuah dering ponsel menginterupsinya. Nama Javier membuat Jayden mengerutkan keningnya. Tak biasanya sang kembarnya meneleponnya di jam seperti ini.
"Halo, kenapa, Dek?"
Rungunya menangkap sebuah kegaduhan di seberang sana. Jantungnya pun tiba-tiba saja berpacu dua kali lebih cepat. Apalagi saat mendengar papanya meneriakkan nama Javier.
"Halo, Dek? Kenapa?!"
"Mas Jay, t-tolong. Pulang. Mas Jav, gawat. Mas Jav kejang-kejang!"
"Adek, astaga kenapa gini?"
"P-Pa, sakit."
"S-Sakit banget. Nggak kuat."
"Kakak tolong pulang. Adek kamu ya Allah."
Hati Jayden sakit mendengar rintihan dari kembarannya. Tanpa menunggu jawaban dari ART-nya, pria itu mutuskan sambungan telepon. Bahkan ia tak memedulikan sapaan dari setiap orang yang berpapasan dengannya.
"Ya Allah, tolong jangan lagi."
Pria tampan itu menghidupkan mobilnya dengan terburu-buru. Bahkan ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dalam hati Jayden tak berhenti melantunkan doa untuk sang kembaran yang kini membutuhkan kehadirannya.
***
Beruntung Jayden pulang dengan selamat. Meski panik menguasai, namun ia masih tetap fokus berkendara. Keadaan halaman rumahnya tampak sepi. Pikir Jayden, pasti semua orang tengah ada di kamar Javier.
Langkahnya kian terburu-buru seiring dengan rasa khawatir yang semakin membelenggu. Mendengar adiknya merintih kesakitan dan mengalami kejang-kejang saja sudah membuat tubuhnya seolah tak bertulang, apalagu kabar yang lebih buruk lagi.
Tangannya dengan cepat meraih gagang pintu. Lantas membukanya dengan terburu-buru. Ia baru saja ingin berlari ke arah kamar si bungsu, namun semua terhenti saat melihat sesuatu yang ada di hadapannya.
"SURPRISE!"
Jayden tanpa sadar menjatuhkan kunci mobilnya. Di hadapannya telah tertata dengan meriah dekorasi pesta. Ada tulisan 'HAPPY BIRTHDAY OUR BEST DOCTOR'. Jayden mendekati adik kembarnya yang tengah membawa sebuah kue tart di kedua tangannya. Otaknya masih memproses apa yang terjadi.
Dengan jantung yang masih berpacu cepat, ia meraih kue itu untuk ia letakkan di atas meja. Kedua tangannya membingkai wajah Javier dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Adek, lo nggak apa-apa, kan?"
Tangannya mengusap helaian rambut Javier. Memastikan adiknya tak terluka sedikit pun.
"Kak Jay, gue nggak apa-apa. Maaf udah bikin khawatir. Niatnya bikin kejutan di hari ulang tahun lo."
Sejujurnya Jayden merasa jengkel dengan prank yang dibuat oleh semua orang. Namun rasa lega dan bahagia lebih mendominasi. Pria itu membawa adiknya ke dalam pelukan hangat.
"Jangan bikin prank ginian. Kakak takut. Lo dan Papa tuh harta paling berharga Kakak. Kakak nggak may kehilangan lagi."
Jayden menangis. Terserah jika ada yang menganggapnya cengeng. Laki-laki tak harus berpura-pura kuat. Dan melihat reaksi kakaknya membuat Javier merasa bersalah. Ide ini memang darinya. Tak pernah ia berharap Jayden kembali merasa membuka luka lama.
"Kakak, gue minta maaf."
"Nggak perlu minta maaf. Ngelihat lo baik-baik aja gini udah bikin gue tenang."
Javier menjadikan saudaranya sebagai pusat dunianya, begitupun sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Beberapa detik mereka habiskan untuk saling berpelukan hingga Javier memutuskan untuk melepaskan.
"Kakak tiup lilinnya dulu."
"Ini biar Papa yang pegang kuenya. Mbak Nina, tolong nyalain lilinnya."
"Papa, kata Pak Ustad, niup lilin itu nggak boleh dalam agama kita. Nggak usah pakai lilin."
Jayden menegur hingga Ansel sontak menepuk keningnya. Pria itu lupa dengan ceramah ustad saat ikut kajian tempo lalu.
Lantas lilin pun disisihkan. Mereka bernyanyi lagu Selamat Ulang Tahun sebelum Jayden akhirnya berdoa dalam hatinya. Tangannya menengadah dengan mata terpejam.
"Ya Allah, terima kasih atas umur yang Kauberi. Tolong beri waktu untukku di dunia ini untuk membahagiakan mereka. Aku juga ingin lebih banyak menyembuhkan orang. Bahagiakan mereka yang aku sayang. Aamiin."
Mata Jayden kembali terbuka. Mbak Nina telah membawa pisau untuk memotong kue. Dan Jayden pun memotong kue pertama untuk sang adik.
"Selamat ulang tahun, Kak Jay."
Javier sekali lagi mengucapkan beberapa harapan untuk sang kembaran. Pria yang kini berkecimpung di dunia sebagai produser musik itu merasa hatinya menghangat. Bahagia telah menjemput. Dan cowok itu tak pernah bosan untuk bersyukur atas bahagia yang Tuhan berikan untuk keluarganya.
Kini tak ada lagi penghalang kebahagiaan untuk keluarga kecilnya.
Real END
Ini bener-bener end ya. Ada prolog, pasti ada epilog. Meski karyaku jauh dari kata sempurna, aku pribadi puas bisa selesaiin book aku 😭
Untuk part Jayden dokter ini sebenernya based pengalaman pribadi langganan anter tante check up sama anter almh nenekku berobat 😆
Btw, ada 2 cerita baru pengganti Jayden. Silakan cek profil aku. 2 ceritaku visualnya Jayhoon sama 02z.
Yang cerita Cakra juga otw ending karena emang itu konflik nggak berat dan dikit
Begitupun juga dengan cerita Juan
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Teen FictionJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...