"Mama, tadi aku ketemu Kakak."
Seorang cowok berwajah khas blasteran itu tengah duduk nyaman di samping sebuah makam. Matanya memandang teduh pada sebuah nama cantik yang terukir di batu nisan di dekatnya. Sebuah bunga mawar merah ia letakkan di sana.
"Ma, kayaknya susah buat ajak dia pulang, deh."
Matanya terpejam hingga membuat buliran bening itu meluruh dari sana. Ada sesak yang membelenggunya, dan telah menyiksa batinnya bertahun-tahun. Kedua tangannya lantas terulur memeluk nisan itu seolah telah merengkuh tubuh sosok mama yang telah berpulang cukup lama.
"Mana mungkin kakak mau pulang pas tahu dia dibuang papa."
Semilir angin di kala senja kali ini membuatnya semakin larut dalam lara. Tak peduli pakaiannya kotor, ia tetap bergeming. Memeluk rumah abadi milik sang terkasih.
"Apalagi dia sayang banget sama kakak tirinya. Aku nggak mungkin bisa rebut hatinya."
"Siapa bilang kamu nggak bisa rebut hatinya? Kamu pasti bisa. Dia cuman akan benci sama Papa."
Suara seseorang menginterupsi. Bibirnya berubah membentuk kurva lurus saat melihat pria yang tadi ia sebut berdiri di sampingnya.
Ada amarah yang seakan ingin meluap begitu sosok itu kini duduk di sampingnya seraya meletakkan mawar merah.
"Gara-gara Papa, kakak kembar aku ilang. Kalau sampai kakak aku nggak mau kembali sama aku, selamanya aku nggak akan maafin Papa."
Cowok itu berdiri. Mata sehitam jelaga itu menatap tajam pria yang ia panggil papa. Dan tak ada pembelaan dari papanya. Pria itu sadar, ia memang pantas mendapat kebencian dari anaknya sendiri karena telah berbuat jahat di masa lalu.
Matanya mengikuti pergerakan sang putra yang kian menjauh dari area pemakaman. Kini ia sendiri, mengunjungi makam mendiang istrinya yang telah 15 tahun berpulang.
"Kamu ... kamu yang sabar ya, Sayang. Aku akan berusaha bawa pulang Jayden, anak kita."
***
Joana membenahi baju-baju Mahesa di lemari setelah sang putra pulang dari rumah sakit. Beruntung kondisi Mahesa cukup membaik. Hanya saja ia dipaksa harus menerima fakta bahwa rumah sakit belum mendapatkan hasil pencarian donor organ jantung maupun paru-paru yang cocok dengan Mahesa. Untuk mendapatkan donor memang harus mengikuti antrian yang cukup panjang.
Saat ia telah menyelesaikan pekerjaannya membereskan pakaian Mahesa, matanya menangkap sebuah bingkai foto di meja belajar sang putra. Sebuah potret keluarga bahagia yang baru dicetak beberapa waktu lalu.
Pikirannya kini dipenuhi oleh Jayden. Jika ditelaah mundur, tak ada satu pun kenangan manis yang tercipta bersama Jayden. Justru hanya ada kenangan berbalut luka yang Joana berikan.
"Maaf, Jayden."
Joana di masa lalu adalah sosok wanita egois dan ambisius. Dan nyatanya hingga kini ia tetap menjadi pribadi yang egois. Hingga membuat kedua putranya hidup berteman kegetiran.
Maaf, Sayang. Anak kita ... adeknya Mahesa nggak bisa diselamatkan.
Joana akui, ia adalah orang tua yang buruk. Namun setelah kehilangan yang ia alami di masa lalu, Joana berusaha mempertahankan anugerah Tuhan yang masih ada di sisinya. Mahesa adalah harta paling berharga. Semua akan ia dan Jishan lakukan demi membuat Mahesa bahagia. Termasuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Wanita itu menatap sang putra yang telah terlelap dalam diam. Pikirannya mengelana jauh di mana awal mula Jayden hadir. Di mana kebohongan itu mulai tercipta. Kala Jishan datang dengan membawa sebuah cahaya untuk keluarganya.
![](https://img.wattpad.com/cover/361574805-288-k780531.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Teen FictionJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...