Rasa Bersalah

887 80 13
                                    

Please muncullah reader kesayanganku 😻

Darah terus merembes dari kepala belakang Cantika. Tangis yang memilukan dari Javier membuat suasana semakin terasa kalut. Mata cantik itu masih terbuka walau hanya tampak segaris. Cantika masih berusaha mempertahankan kesadarannya walau rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin kuat menguasai. Bibir pucat itu ingin mengucapkan satu kata saja, namun suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Sekeras apa pun Cantika berusaha, wanita cantik itu telah dijemput oleh kegelapan. Membuat Javier semakin dipasung oleh rasa takut.

"Mama, maafin Jav. Maaf. Maaf."

Pandangan Javier memburam. Ada linangan air mata yang membasahi kedua pipi chubby-nya. Bocah itu masih dikungkung oleh rasa takut. Bayangan sang mama yang tertabrak mobil semakin membuat  Javier gemetaran. Bahkan ia yang takut melihat darah harus menahan diri untuk tak ikut pingsan meski tubuh kecilnya semakin lemas.

"Jav, kamu tenang aja. Mama Cantika pasti baik-baik aja."

Ansel meraih tubuh si bungsu demi memberi ketenangan. Perasaan takut akan kehilangan itu juga telah menguasai hati pria itu, namun ikut terpuruk bukanlah sikap yang tepat. Ada putra bungsunya yang butuh pondasi.

"Pak, tolong Bapak dan putra Bapak keluar dulu. Udah sampai rumah sakit."

Ansel terkesiap. Ia bahkan baru menyadari mobilnya telah sampai di pelataran rumah sakit. Pria itu mengangguk singkat sebelum akhirnya keluar dari mobil. Membiarkan para petugas medis memindahkan tubuh sang istri di atas emergency bad.

Sambil menggendong tubuh putra bungsunya, Ansel melangkah cepat mengikuti pergerakan emergency bad yang membawa Cantika menuju ke ruang UGD.

"Jav, tenang. Kita doa sama-sama, ya."

Ansel mendudukkan tubuh lemas Javier di kursi, bersebelahan dengannya. Tak ada balasan apa pun dari Javuer. Bocah itu hanya diam dengan tatapan yang kosong. Selama satu jam lamanya keduanya menunggu, bahkan Javier tanpa sadar telah terlelap. Akhirnya penantiannya membuahkan hasil. Seorang dokter dan ners datang. Namun Ansel menangkap raut wajah suram terlukis dari mereka.

"Jav, bangun. Ada dokter."

Tak butuh waktu lama untuk membangunkan Javier. Bocah itu tipikal orang yang mudah terbangun. Senyum Javier terbit. Ada setitik harapan yang tercipta dalam dirinya tentang keadaan Cantika. Bocah itu yakin sang mama akan baik-baik saja.

"Dok, gimana istri saya?"

"Maaf, Pak," Sang Dokter melirik sekilas ners yang ada di sampingnya, "Ibu Cantika Anggraini tidak bisa kami selamatkan."

Ansel terpekur. Ada satu titik bagian hatinya yang seolah remuk. Belahan jiwa yang telah hidup bersamanya selama 11 tahun telah pulang. Air mata pria itu lolos. Dada Ansel seolah tengah tertimpa beban berat tak kasatmata yang membuatnya terasa sesak.

"Papa, Mama. Jav nggak mau kehilangan mama."

Javier adalah bocah 10 tahun yang pintar. Ucapan dokter itu berhasil ia pahami. Dan kini kehancuran itu semakin nyata Javier rasakan. Terpisah oleh saudara kembar sendiri. Dan kini ia harus kehilangan wanita tercantiknya.

Bocah itu melepas genggaman tangan Ansel, lantas melangkah cepat menuju ke dalam ruangan yang menjadi saksi bisu menyerahnya perjuangan Cantika. Begitu Javier masuk, dua orang ners telah bersiap untuk keluar ruang UGD setelah menyelesaikan pelepasan alat medis di tubuh Cantika.

"Mama, maaf. Maaf Javier nakal."

Pikiran Javier rumit. Ada banyak sesal yang berkecambuk di dalam diri bocah itu. Dan rasa bersalah telah mendominasi hati Javier. Otak Javier telah tertanam pemikiran Cantika meninggal karena ia nakal. Dengan tangan yang masih berhiaskan darah, bocah itu membingkai wajah ayu sang mama.

Everlasting Pain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang