Hari-hari Jayden saat telah menginjak usia 17 tahun berjalan dengan apa yang ia harapkan selama ini. Papa dan mamanya tak pernah lagi pilih kasih. Semua temannya pun ikut memberi warna dalam hidupnya. Hanya saja memang kebahagiaannya kurang lengkap karena sembuh seolah mustahil dapat Mahesa raih.
"Anak-anak, tiga hari lagi kita akan mengadakan kemah. Semua siswa wajib untuk ikut. Kecuali jika ada di antara kalian yang mempunyai penyakit kronis, bisa lapor ke Ibu sambil membawa surat dokter."
Kelas Jayden kini mulai riuh. Semua teman sekolahnya terlihat antusias, begitupun Jayden. Cowok itu memang suka dengan alam. Tentu saja ia akan bersemangat mengikuti kegiatan berkemah ini.
"Jay, lo nanti satu tenda sama gue ya."
Satria tentu saja ingin satu tenda dengan sang sahabat. Namun sayangnya kali ini keinginannya tak terkabul karena penentuan kelompok berkemah ditentukan oleh wali kelas.
"Untuk kelompok dalam kemah nanti, Ibu yang menentukan. Biar nggak ada kesenjangan di antara kalian."
Satria berdecak kesal. Namun berbeda dengan Jayden, cowok itu terlihat biasa saja. Justru ia merasa keputusan wali kelasnya bagus. Selain menjalin tali pertemanan antar teman sekelas, kelompok yang ditentukan guru mampu mengatasi siswa yang kesulitan mencari teman sekelompok.
"Cuman kelompok doang. Santai elah,"
Jayden menggelengkan kepalanya saat melihat wajah frustrasi sang sahabat. Lantas cowok itu pun kembali mendengarkan arahan Bu Helena. Cukup puas ketika ia sudah mendapatkan teman kelompok. Tak terlalu masalah baginya. Ia mendapatkan teman-teman yang sepanjang Jayden ingat baik dalam tugas kelompok yang memerlukan kerjasama.
***
Berbeda dengan Jayden yang hidup selayaknya remaja pada umumnya, sang kakak justru sebaliknya. Cowok itu tengah terbaring lemah di kamarnya. Wajah pucatnya dihiasi oleh masker oksigen. Sejak beberapa waktu lalu, Mahesa tak berhenti mengeluh tak bisa bernapas.
"Sabar ya, Kak. Kamu masih belum bisa napas sendiri."
Mahesa bungkam. Mata itu menatap kosong ke depan. Tak memedulikan Joana yang sejak tadi setia duduk di samping ranjangnya sembari mengusap lembut kening sang putra.
Tak ada ibu yang kuat melihat anak yang dikandung selama 6 bulan menderita. Namun Joana mau tak mau harus dipaksa untuk terlihat kuat. Wanita itu tak menyangka kesalahannya di masa lalu berimbas ke putra sulungnya. Mahesa lahir prematur. Sangat jauh dari bayi normal yang seharusnya lahir saat usia kandungan 9 bulan.
"Ma, mau sembuh," lirih Mahesa.
Suasana kamar yang hening membuat Joana mampu mendengar suara Mahesa yang lirih. Hatinya sakit luar biasa. Bahkan dadanya sesak, seolah ada benda berat tak kasatmata yang menekannya.
Matanya terpejam sesaat hingga cairan bening itu keluar. Kenangan di masa lalu saat awal pernikahannya dengan Jishan kembali hadir dalam benaknya. Membuat Joana semakin diselimuti oleh penyesalan.
***
"Joana, kamu ini lagi hamil. Tolong jangan egois!"
Joana mendengkus kesal. Wanita berbadan dua itu berdiri menatap suaminya sambil berkacak pinggang. Amarahnya kian meluap saat mendapat teguran dari pasangan hidupnya.
"Mas, aku masih pengin kerja. Aku masih pengin jadi model."
Lihat saja wajah Joana. Rona pucat itu sering Jishan tangkap. Jishan hanya tak mau istri dan calon putranya terluka. Wanita yang dinikahinya setahun silam ini tengah hamil 6 bulan. Namun Joana tak mengurangi pekerjaannya. Sang istri tetap gila kerja sekalipun rasa capek kian memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Pain [END]
Roman pour AdolescentsJika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang kedua. "Sat, gimana rasanya dipeluk sama mama lo?" "Rasanya nyaman dan hangat lah. Bukannya lo sering...