Liena termenung di dalam kamar usai lelah menangis. Ia tak bisa pulang sekarang juga karena Ivany sudah akan sampai. Kayanya sebagai permintaan maaf karena akhir pekan tak bisa ke sini sesuai janji. Ia akan menemani Liena di malam terakhirnya hari ini di Bandung. Mungkin itu juga salah satu firasat Ivany sebagai seorang sahabat.
Ketukkan pintu membuat kepala Liena menoleh. Ia berjalan dengan sisa tenaganya.
"Hai, Liena ku! Gue ba-astaga itu mata lo kenapa?!" Ivany buru-buru masuk dan menutup pintu. Ditatapnya cemas dan heran wajah Liena dengan matanya yang sembab. Bahkan jejak air mata masih berbekas di sana.
"Liena, lo kenapa?" Tanya Ivany khawatir sambil menuntun Liena duduk di atas kasur.
Liena hanya menggeleng dengan derai air mata yang kembali membasahi pipinya. Ingatannya kembali saat Arthur hanya diam membiarkannya pergi. Liena tahu pria itu sedang bekerja. Tapi, apakah harus membiarkan Liena pergi tanpa melakukan apapun? Liena merasa tak bisa menaruh harap pada pernikahan yang tinggal hitungan minggu ini.
Pelukan hangat Ivany membuatnya kembali menangis hebat. Tepukan dan usapan lembut pada punggung Liena membuatnya terpejam dengan isak tangis yang terdengar.
Malamnya Liena terbangun saat adzan maghrib terdengar dari handphonenya. Ia lekas mandi meski bingung keberadaan Ivany tak terlihat di sini. Saat mengecek handphone lagi-lagi Liena hanya bisa menghela nafas. Masih kosong tak ada apapun.
Kali ini rasanya Liena tak bisa menangis. Air matanya seolah kering.
"Eh, lo udah bangun."
Liena menoleh ke arah pintu. "Nggak. Gue masih tidur."
Ivany terkekeh. "Makan dulu gak sih. Kita isi tenaga habis itu jalan-jalan ke luar," ucapnya sambil membawa dua nampan berukuran sedang.
Liena hanya mengangguk lalu makan dengan diam. Masalah tetap masalah. Perut tetap perut. Masalah nomor sekian. Perut nomor satu.
"Na, gue kan searching searching wisata baru nih di sekitaran sini. Eh, ada cafe baru dong! Lucu banget konsepnya. Ke sana yuk!" Ajak Ivany semangat saat mereka keluar dari hotel.
"Jalan kaki apa pake motor?" Tanya Liena.
"Motor lah. Kita pesen ojol oke?" Ivany terus menunjukkan wajah ceria. Liena tahu tujuannya menghibur dirinya tapi demi apapun itu tak cocok dengan Ivany.
"Pen, lo kalo judes udah judes aja gak usah jadi happy girl gitu. Gak cocok sumpah," ucap Liena sungguh-sungguh.
Wajah ceria Ivany seketika menjadi datar. Ditatapnya Liena dengan delikan tajamnya. "Parah. Gak mengapresiasi usaha gue."
Liena seketika tertawa. "Lagian. Be yourself aja. Gue bangga kok punya sahabat judes. Biar bisa julidin si uler."
"Si uler siapa?"
Dari sana lah semua mengalir. Sepanjang Liena bercerita Ivany terus mengumpati Vina bahkan Arthur pun kena. Tak peduli bahwa pria itu adalah calon suami sahabatnya. Meski kini tengah di ujung tanduk.
"Anying emang si Vina itu, ya. Awas aja kalo gue ketemu dia. Gue julidin abis-abisan!" Mata Ivany berkilat dendam.
Liena mengacungkan kedua jempolnya. Harusnya ia tak perlu sedih berlarut-larut. Ada Ivany yang siap membuat Vina makin belingsatan kayak ular dikasih garam kasar.
"Kok lo nyebut dia uler, Na?" Tanya Ivany saat mereka duduk di pojok cafe.
"Karena dia banyak bisanya," jawab Liena santai.
Ivany mengernyit. "Lo muji dia?"
Liena mengangguk. "Selain bisa masak, bisa bikin kue dia juga bisa caper, bisa gak punya malu deketin calon suami orang, bisa gembar gembor di sosmed nyindir-nyindir, bisa nuduh orang pake pelet. Banyak kan?" Liena menurunkan kedua tangannya saat seorang waiters menghampiri mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Soldier, please!
Teen FictionPokoknya berdoa itu yang jelas. Jangan kayak Liena yang asal minta bahkan memohon tanpa tahu nanti ketemunya gimana dan kayak apa. Ya, meski akhirnya dipepet juga sih. *** Welcome to Meet Military Police versi new! Judulnya doang padahal yang baru...