Saat itu kala Liena tengah memikirkan kenapa Arthur belum menyinggung soal keseriusannya pada Liena tiba-tiba pria itu bertanya.
"Liena. Kamu sudah puas menghasilkan uang sendiri dan pergi ke mana pun yang kamu mau?"
Liena mengernyit bingung. "Belum. Kenapa emang, Om?" Tanyanya balik. Karena jujur tabungan untuk adiknya kuliah nanti belum cukup meski Liena tak yakin bisa membiayai nya hingga Arini lulus.
"Saya kira sudah puas." Arthur menatap Liena dengan senyum kecewa nya.
"Kenapa emang, Om? Ngomong yang jelas coba."
Arthur menatap Liena meski hanya lewat layar handphone. "Tadinya saya mau lamar kamu."
"Ya, kalau mau melamar ya lamar aja. Gak usah nanya kayak gitu. Kesan nya aku kayak wanita bebas dan gila uang tau nggak," ucap Liena judes.
Hari itu Liena habis di tegur habis-habisan oleh atasan nya. Rasa kesal yang ia pendam malah muncul seketika mendengar kata tadinya. Dalam pikirnya Arthur tak akan serius padanya jika dirinya masih bekerja. Tentu Liena kesal memikirkan nya. Apalagi ia tak akan berhenti bekerja dalam waktu dekat.
"Bukan gitu maksud saya. Kalo kamu sudah puas kan saya gak akan sungkan untuk meminta kamu jadi pendamping hidup saya dalam waktu dekat. Kalo memang belum puas juga gak apa. Saya akan menunggu."
Hati kesal Liena langsung melunak seketika. "Kalo lama gimana? Om, mau nunggu?" Tanyanya sambil menatap Arthur ragu.
"Dengan senang hati. Berapa lama pun asal kamu hasilnya."
Andai Liena tak gengsi untuk menitikan air matanya mungkin pelupuk matanya sudah banjir. Sayang nya ia hanya mampu menahannya di tenggorokan. Dan ucapan Arthur selanjutnya semakin membuat tenggorokannya tercekat perih.
"Kalau kamu belum puas meski sudah memakan waktu tahunan ajak saya, ya. Kita cari uang dan pergi ke mana pun yang kamu mau. Tapi, kamu harus ingat. Suami kamu ini tentara bukan seorang traveler."
Terpaksa Liena mematikan panggilan video sepihak. Dan ia menangis dalam diam di kamarnya. Mungkin ini definisi beruntung dalam hidupnya. Mendapatkan seorang pria yang sudah jelas menjadikan nya tujuan.
Dan andai malam itu Liena menjawab "Aku udah puas kok." Mungkin sekarang sudah tersemat cincin di jari manisnya yang akan ia pakai ke mana pun ia pergi.
Nyatanya sekarang Liena hanya bisa menatap jari-jari manisnya yang masih kosong. "Sedih ya kamu jari manis. Maafin pemilik mu ini, ya," ucapnya sambil mengusap-usap jari manis di tangan kanan.
"Kayak orang gila aja lo abis ngelamun ngomong sendiri."
Liena terkekeh sambil menengadahkan wajahnya ke depan. Di tatapnya Ivany dengan raut sedihnya namun ia tersenyum. "Gue tuh lagi galau, Pen."
"Iya tau. Makanya lo ngajak keluar di malam minggu. Biasanya juga ngurung diri di kamar."
Liena lagi-lagi terkekeh. "Kangen tau gue."
"Iya tau."
"Gue juga nyesel," ucap Liena sambil menghela nafas.
"Iya tau."
Liena yang tadinya akan termenung jadi berdecak keras sambil menatap wajah Ivany. "Tau tau mulu lo," ucapnya kesal. "Semangatin kek," lanjutnya.
Ivany menyeruput esnya dengan santai. "Lagi malas nyemangatin orang soalnya belum gajian."
"Dih," ujar Liena sambil mendelik. Lalu tatapannya kembali seperti biasa. "Emang bener sih."
"Ya, kan," balas Ivany.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Soldier, please!
Teen FictionPokoknya berdoa itu yang jelas. Jangan kayak Liena yang asal minta bahkan memohon tanpa tahu nanti ketemunya gimana dan kayak apa. Ya, meski akhirnya dipepet juga sih. *** Welcome to Meet Military Police versi new! Judulnya doang padahal yang baru...