52] Sayangnya Mas

2.3K 118 40
                                    

"Ma, Liena pamit ya," ucap Liena sambil memeluk mamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Cahaya sebagai ibu tentu hanya bisa mengangguk dan memberikan nasihat-nasihat kepada anaknya yang kini menjadi seorang istri.

Usai melepas pelukannya dengan sang ibu kini Liena menatap anggota keluarganya satu per satu. Sebagai anak yang apa-apa dengan keluarga rasanya sedih sekali jika harus berjauhan seperti ini. Apalagi harus meninggalkan keponakan-keponakannya yang lagi lucu-lucunya. Sean yang selalu meminta digendong dengan ocehan khas balitanya dan Raina yang selalu bertanya akan hal-hal baru yang ditemuinya. Sungguh ia akan sangat merindukannya.

Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil Liena mengambil Sean dari gendongan ibunya. Seolah mengerti anak kecil itu hanya menatap wajah Liena. Tak mengoceh kegirangan seperti biasanya saat Liena menggendongnya. Dipeluknya Sean dengan sayang.

Arthur yang baru saja selesai mengobrol dengan bapak mertuanya langsung mengusap-usap punggung istrinya. Ia sedikit membungkuk menyamakan tingginya dengan telinga sang istri. "Udah gak usah sedih. Nanti kita bikin yang lebih lucu," bisiknya.

Air mata yang hendak turun seolah tersedot kembali mendengar bisikkan tersebut. Liena langsung mendelik pada Arthur. Suami siapa si?! Ngebet banget! Batinnya.

Meski begitu Liena bersyukur. Ia jadi tak menangis di momen ini. Gak tau kalau nanti malam. Eh!

Usai berpamitan dengan keluarga dan para tetangga yang melihat Liena masuk mobil terlebih dahulu setelah suaminya menyuruhnya untuk duduk diam di dalam. Diam yang dimaksud gak usah ikut angkat barang-barang. Istrinya itu kadang lupa sudah memiliki suami hingga apa-apa ingin dilakukan sendiri.

"Thur, nikah enak gak?" Tanya Hafiz sambil menengok ke arah Arthur dengan senyum lebarnya.

"Jangan tanya, Pis. Enak banget." Arthur tersenyum kala tangannya sibuk merapikan barang-barang di bagasi mobil. Ia melirik istrinya yang fokus pada layar handphone. "Apalagi istrinya dia. Rasanya bahagia banget hidup gue, Pis," ucapnya yang masih tersenyum.

Hafiz tersenyum sambil menutup bagasi mobil saat Arthur sudah selesai dengan kegiatannya. "Pasti bahagia lah. Sekian taun khawatir gak jelas takut doi lebih milih cowok seumurannya eh, malah elu yang dipilih. Gue kalo jadi Liena rugi sih. Mending milih yang seumuran. Biar gak dikira keponakannya kalo jalan."

Arthur langsung menatap temannya dengan wajah datar. "Pis, lo mau gue sumpahin gak nikah seumur hidup?"

Hafiz berdecak. "Nah, ini nih contohnya. Lo juga seriusan orangnya."

Tanpa kata Arthur langsung memiting kepala Hafiz dan menggeret nya ke depan pintu kursi kemudi. "Nyetir atau gue rekomendasiin lo biar di mutasi. Jauh-jauhan lo sama calon bini!"

Hafiz memukul-mukul tangan Arthur yang mencekik lehernya. "Thur Thur! Becanda gue suer. Ah, elah mati nih mati nih." Hafiz terbatuk-batuk. "Gue mau nikah, Thur!"

Liena tiba-tiba menyembul lewat kaca mobil. "Kenapa, Mas?" Tanyanya bingung melihat suami dan teman suaminya itu saling menunduk.

Seketika Arthur langsung melepaskan Hafiz dan tersenyum pada istrinya. "Nggak, Sayang. Ini Mas lagi nasehatin Hapis yang ngebet nikah sama temen kamu. Mas, bilang jangan grasak-grusuk. Temen kamu itu orangnya santai kan? Maksudnya gak perlu buru-buru yang penting pasti. Iya kan, Sayang?"

Liena tersenyum lebar dan mengangguk. "Iya, Bang Hapis. Santai aja. Pokoknya yang penting jadi," ucapnya.

Dan Hafiz hanya bisa tersenyum singkat. Sungguh suami istri yang saling melengkapi.

Perjalanan yang cukup jauh itu terasa singkat bagi pasutri baru. Bagi yang menyetir tentu saja terasa menjadi sangat jauh. Ia harus menyaksikan momen-momen yang membuatnya ingin menikahi Ivany detik itu juga. Santai tapi, pasti katanya. Gak bisa! Hafiz harus sat-set biar bisa saling suap dan sender menyender sambil pegangan tangan.

That Soldier, please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang