Entah sudah berapa kali Arthur keluar masuk kamar hanya untuk melihat istrinya sudah usai mengobrol atau belum dengan tetangganya. Istrinya itu lupa sudah punya suami atau gimana? Yang harusnya diajak ngobrol, ketawa-ketawa dan peluk-peluk kan dirinya bukan tetangga sebelah.
Mana mau manggil takut ganggu. Gak manggil dirinya gak bisa tidur, gak tenang kalo Liena gak ada di sampingnya.
"Kenapa A'? Mau manggil si Teteh?" Cahaya melintas dengan sepiring kue-kue kering di tangannya. Menantunya yang tinggi nan tampan ini seperti ragu-ragu mau manggil.
Arthur yang tengah berdiri di ambang pintu kamar dengan mata yang tertuju pada istrinya seketika tersenyum malu. "Iya, Ma," ucapnya.
"Panggil aja atuh, Aa. Gak usah malu-malu ah." Cahaya terkekeh.
Arthur tersenyum kikuk. "Takut ganggu, Ma."
"Ya, nggak atuh. Bentar ya, Mama panggilin."
"Iya, Ma. Makasih."
Usai ibu mertuanya berlalu ke luar rumah Arthur pun berlalu ke dalam kamar dengan senyum merekah. Akhirnya ada yang mengerti.
Tak lama suara pintu yang ditutup terdengar.
"Kenapa, Mas?"
Arthur membalik tubuhnya dengan bibir yang tersenyum lebar. Namun senyum lebar itu hilang seketika. Kedua alisnya beradu dengan mata yang tertuju pada daster yang digunakan Liena. Panjangnya hanya satu jengkal di bawah lutut.
"Daster yang kamu pakai banyak?" Arthur menghampiri Liena.
"Yang gini?" Liema menarik kedua sisi dasternya hingga tubuh bagian depannya tercetak.
Arthur berdecak. Kalo tadi pas di depan ada angin bisa dilihat orang lain lekuk tubuh istrinya. Mana bisa Arthur biarkan.
"Iya."
"Ada 3 sih. Emang kenapa?"
Tanpa kata Arthur langsung membuka lemari. Setumpuk daster dan ada beberapa yang di gantung membuat kedua alisnya lagi-lagi beradu. Dilihat-lihat ukurannya kurang lebih sama dengan yang dipakai istrinya sekarang. Terus ada yang talinya bisa di ikat sendiri, panjangnya juga cuma selutut. Sat set banget ini, tinggal tarik dikit.
Arthur berdehem keras saat pikirannya mulai ke mana-mana.
Liena meringis saat Arthur terus menatap daster yang Ivany belikan kala dirinya berulang tahun. Katanya dipakenya nanti aja kalo udah punya suami.
"Sayang," panggil Arthur tanpa menoleh. Kekesalannya seolah meredam setelah melihat daster itu.
Liena langsung menghampiri suaminya.
"Haid kamu udah berapa hari?" Arthur terus menatap daster yang tergantung itu.
"4 hari."
"Biasanya berapa hari?"
"Enam atau tujuh sih. Tapi, lebih sering 6. Kenapa emang, Om?"
"Mas, Sayang," tutur Arthur lembut sambil berdiri setelah menutup pintu lemari. Ia merengkuh tubuh istrinya dengan senyum merekah. "Lusa berarti," gumamnya yang terdengar oleh Liena.
"Lusa kenapa, Mas?" Tanya Liena yang pasrah dipeluk erat oleh suaminya.
"Kita ke Bandung. Nanti di jemput Hapis. Daster yang di gantung itu bawa, ya."
Liena mengangguk dalam pelukan suaminya. "Ke rumah Mama dulu apa langsung ke rumah dinas?"
"Rumah dinas. Mama kan lagi ke Yogya sama Papa. Nanti akhir minggu baru kita ke sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
That Soldier, please!
Teen FictionPokoknya berdoa itu yang jelas. Jangan kayak Liena yang asal minta bahkan memohon tanpa tahu nanti ketemunya gimana dan kayak apa. Ya, meski akhirnya dipepet juga sih. *** Welcome to Meet Military Police versi new! Judulnya doang padahal yang baru...