Usai diberitahu oleh Hafizh dimana rumah sakit yang menangani suaminya, Liena langsung menyusul tanpa mengganti seragam yang tengah ia pakai. Hingga di sepanjang larinya menuju ruang IGD tak sedikit orang-orang menatap ke arahnya. Langkah Liena melambat saat ruang IGD sudah di depannya dalam jarak beberapa meter.
Saat seorang perawat perempuan keluar dari IGD ragu-ragu Liena melangkah.
"Sus," panggil Liena pelan.
"Iya Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya perawat tersebut sambil menghampiri Liena.
"Apa pasien dengan luka tembak sudah dipindahkan ke ruang rawat inap?" Tanya Liena sambil mengusap air matanya yang terus membasahi pipi.
"Pasien dengan luka tembak?" Perawat tersebut mengernyit.
Liena mengangguk. Dalam hati ia terus meyakinkan hatinya bahwa suaminya pasti akan baik-baik saja. Ya, pasti.
Perawat tersebut nampak melihat catatan yang sedari tadi ia peluk menggunakan tangan kirinya. Lalu ia menatap Liena. "Pasien dengan luka tembak dinyatakan meninggal sepuluh menit yang lalu. Dan sudah dibawa ke ruang jenazah," ucap perawat tersebut.
"Jika Ibu ingin ke ruang jenazah. Mari saya antar."
Liena menggeleng. Ia malah melengos menuju ruang IGD. Meninggalkan perawat tersebut yang menatapnya iba dan berlalu. Mungkin saat ini perempuan yang ia duga istrinya itu belum bisa melihat wajah sang suami yang telah tiada.
Liena termangu di depan pintu IGD. Dadanya terhimpit begitu kuatnya hingga ia sulit sekali bernafas dan menerima kenyataan. Kakinya tak mampu lagi berdiri dengan tegak hingga kini ia terduduk dengan isak tangis yang memilukan.
"Mas." Liena menangis dan memukul dada kirinya berkali-kali. Sakit sekali. Di pernikahan yang baru berusia satu bulan ini kenapa ia harus ditinggalkan.
"Kamu jahat, Mas. Kamu jahat. Kamu bilang dapetin aku itu susah. Tapi, nyatanya kamu ninggalin aku duluan. Kamu jahat! Om Abi, jahat!" Liena meracau sambil terus memukul dada kirinya.
"Aku belum balas kalimat cinta mu, Mas. Apa kamu gak mau dengar sampai kamu harus ninggalin aku duluan? Iya?" Liena bicara seolah Arthur ada di hadapannya. Ia marah dan sedih tak terkira.
Liena tahu hidup memang tak sesuai apa yang kita inginkan. Tapi, apa harus Arthur yang di ambil dari hidupnya? Sungguh itu terlalu berat bagi Liena. Ia tak sanggup.
Suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakang tubuh Liena membuat tangis Liena terhenti sesaat. Mungkin itu petugas keamanan yang akan menegurnya.
"Tuh, kan bini lo ini!"
"Iya tau! Gue bilang kan gak usah dikasih tahu dulu. Dia lagi giat!"
"Ya, maaf. Reflek gue. Takut lo beneran mati. Ogah banget gue nangis sendirian di ruang jenazah."
Liena melotot mendengar keributan di belakangnya. Ia buru-buru berdiri saat sebuah telapak tangan menyentuh kepalanya. "Mas?"
Pria yang ia tangisi hebat sedari tadi tersenyum begitu manis padanya. Tiang infus di sampingnya membuat Liena yakin bahwa yang di depannya ini benar-benar suaminya. Apalagi melihat teman suaminya itu yang kini nyengir tanpa dosa sambil menggaruk tengkuknya.
"Iya, Sayang?"
Liena langsung memeluk Arthur begitu erat dan kembali menangis. "Aku kaget tau. Katanya Mas, mati," ucap Liena di sela tangisnya.
Arthur hanya bisa menahan perihnya yang mulai menjalar kala lukanya ikut tertekan akibat pelukan istrinya.
"Ke dalam dulu ya, Sayang. Gak enak kalo di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
That Soldier, please!
Teen FictionPokoknya berdoa itu yang jelas. Jangan kayak Liena yang asal minta bahkan memohon tanpa tahu nanti ketemunya gimana dan kayak apa. Ya, meski akhirnya dipepet juga sih. *** Welcome to Meet Military Police versi new! Judulnya doang padahal yang baru...