5] Marah tapi, gak jadi

2.4K 126 6
                                    

"Bianna Agung Arthur Dirgantara. Cakep, kaya, tinggi, abneg dan sat set sat set,"

"Ah, gak adil ah! Masa lo sih yang disukain dia?" Isfi berdecak tak terima.

Jendela yang dibuka membuat sinar matahari dan semilir angin masuk ke dalam ruangan. Edisi ditinggal Bu Pembimbing yang kembali tengah meeting dan mereka tidak mendapatkan tugas jadi mereka hanya mengobrol setelah menyelesaikan tugas minggu lalu.

"Gue aja bingung. Gue kan item. Terus agak berisi. Apanya yang harus disukai dari gue?" Balas Liena bingung.

"Yah yah, meroket untuk merisol lo,"

"Gak boleh gitu lah. Lo emang gak cantik kayak wanita wanita lain tapi, lo itu manis. Jujur nih, ya gue iri. Yang cantik belum tentu manis tapi, yang manis udah pasti cantik. Apalagi kalo udah ada si bolong di pipi kanan lo. Manisnya nambah."

Liena terkekeh melihat Isfi memujinya dengan gamblang dan diakhiri kedua jempol yang diacungkan di depan wajahnya.

"Dia cuma niat mau jadiin gue adek-adekan nya kali. Yakali, orang seganteng dia suka sama gue. Tidak mungkin," ucap Liena sembari memutar kursi yang ia duduki.

"Lo kemaren-kemaren juga bilangnya gitu. Tapi, lo juga yakin dia suka sama lo. Gue tau lo gak pernah pacaran dan gue juga tau lo gak sebego itu untuk mengetahui gimana sikap dan gerak gerik cowok kalo suka sama cewek. Ya kan?"

"Iya sih. Tapi, kan gue it-"

"Sut, diem. Lo ngomong tentang ke insecure an lo lagi gue suruh lo ambil air ke bawah. Mau?"

Dengan cepat Liena menggeleng. Memang cuma ngambil air. Tapi, yang harus dilewatinya itu yang membuatnya ogah. Harus melewati beberapa para pegawai yang selalu menatapnya ketus.

"Btw, kita udah tiga minggu disini. Sekitar lima mingguan lagi kita disini. Lo berat gak sih kalo pulang tapi gak bawa uang? Secara PKL itu identiknya di mata emak emak hasilnya ya, uang," ucap Liena yang mengingat mereka cukup menghabiskan banyak uang disini.

"Berat lah. Cuma mau gimana lagi. Lagian Mama gue juga gak nuntut amat soal gaji. Emang lo di tuntut gitu?" Isfi melihat handphone nya. Sekedar mengecek apa ada pesan ataupun notif masuk.

Liena menggeleng. "Enggak juga sih."

Keduanya dilahirkan dan hidup di keluarga pas-pasan. Jadi, uang masih yang terpenting bagi hidup mereka. Sebisa mungkin disini mereka hemat. Meski salah satu pusat perbelanjaan kota ada di belakang kost. Tiap hari cuma ngelus dada liat diskonan dari Instagram yang memang sengaja diikuti. Merasa gak bisa beli ya, jadi cuma bisa liat doang. Hitung-hitung hiburan diri.

Semilir angin yang masuk lewat pintu yang berada di pinggir ruangan membuat mereka memejamkan mata. Menikmati semilir angin yang tadinya hanya angin sepoi-sepoi kini berubah menjadi angin kencang. Membuat keduanya panik dan reflek berdiri.

"Njir, serem," ucap Isfi yang melihat pepohonan bergerak seiring angin bertiup. "Turun aja yuk, takut gue." Isfi memegang tangan Liena yang masih fokus melihat pepohonan.

Ting

Tak lain dan tak bukan sudah pasti handphone Liena. Ia hidupkan benda pipih tersebut disela hatinya yang dugun-dugun. Setelah tahu bahwa itu pesan dari ibu Pembimbingnya ia buka dan langsung cek WhatsApp.

Bu Pembimbing

Na hari ini kamu pulang setelah dzuhur ya
Maaf ibu meeting nya sampai sore

Oh iya bu gak papa
Kita ijin pulang ya bu🙏

"Meeting lagi meeting lagi. Yaudah, kita sekalian pulang aja."

That Soldier, please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang