Kilas Balik Ujung SamudraPagi itu, mereka menghabiskan sarapan bersama. Samudra melihat satu per satu orang yang dia cintai.
Amanda, pemilik senyum termanis, rambut sebahu, dan bahkan tanpa polesan makeup, Amanda tetap cantik. Mamanya Samudra memang cantik.
Samudra kemudian memperhatikan lelaki dengan alis menyatu itu, dagu tegas, namun sekarang rahangnya tersenyum melihat Amanda dan Angkasa yang terus berbicara.
Kemudian, Angkasa yang duduk di sebelahnya, senyum manis dan rahang tegasnya, siapa pun yang melihat Angkasa pasti tahu bahwa dia adalah anak mereka. Samudra memperhatikan mereka semua, merekam setiap momen sebelum akhirnya dia memperhatikan dirinya sendiri di cermin di samping mereka.
Samudra memandang wajahnya, tanpa rahang tegas seperti papanya, tanpa bulu mata lentik seperti mamanya, dan dia tersenyum, bahkan senyumnya tidak seindah milik mamanya.
Samudra memandang ketiga orang itu, bahkan kulitnya lebih tan daripada kulit putih mereka.
***
Hari ini, Samudra tengah berlatih basket karena tiba-tiba dia dipilih untuk menggantikan salah satu temannya yang cidera dan kebetulan shift kerjanya di cafe juga masih malam nanti. Samudra memang sering bermain basket sebelumnya, meskipun tidak sefokus dengan taekwondo. Saat peluit tanda berakhirnya latihan hari ini, Samudra berlari ke pinggir lapangan. Dia duduk sejenak untuk minum air mineral, namun botol tersebut tiba-tiba terlempar bersamaan dengan pukulan yang menghantam pipinya.
Samudra meringis karena pukulan itu cukup menyakitkan, namun ia terkejut saat melihat siapa yang baru saja memukulnya.
"Angkasa," Samudra menatap mata merah Angkasa.
"Anjing, lo anjing!" umpat Angkasa sambil mencengkeram kuat kerah baju Samudra.
"Sa, lo kenapa?" ujar Samudra, berusaha menahan cengkraman Angkasa di lehernya.
"Bangsat!" teriak Angkasa, lehernya tegang.
"Gua gak butuh jantung lo, sialan!" Ujar Angkasa kembali berteriak sambil menghempaskan Samudra hingga terjatuh.
Kemudian, Angkasa melemparkan selembar kertas ke wajah Samudra.
Samudra terdiam, menatap surat persetujuan donor jantung yang sudah ditandatangani olehnya sebagai tanda persetujuannya.
"Gua gak butuh anjing," ujar Angkasa, air matanya jatuh meski mungkin tidak ada yang memperhatikan karena dia mengusapnya dengan cepat.
Angkasa menarik kasar Samudra agar berdiri sejajar dengannya. "Gua gak butuh jantung lo!" Ujar Angkasa, kemudian dia kembali memukuli Samudra.
Dia terus melanjutkan dengan beberapa pukulan lagi pada Samudra yang sudah tersungkur.
Kemudian, saat dia hendak memukul Samudra lagi, Samudra berhasil menghindar dan membalikkan keadaan. Kini Angkasa berada di bawah kendali Samudra.
"Gua lebih memilih mati daripada menerima jantung lo, sialan!" teriak A0apngkasa, menatap Samudra dengan penuh kemarahan.
Samudra melayangkan sebuah pukulan pada Angkasa. Angkasa terdiam menerima pukulan dari Samudra."Lo harus hidup, dan lo butuh jantung untuk terus hidup," balas Samudra, mengunci pandangannya.
"Terima, jangan mempersulit keadaan," lanjut Samudra.
"Gak akan, anjing!" ujar Angkasa, masih memberontak, tapi Samudra jauh lebih kuat.
"Lo butuh jantung untuk hidup," ujar Samudra.
"Lo juga butuh, sialan," ujar Angkasa.
Samudra tersenyum, kemudian tertawa. "Tapi jantung ini milik lo, sejak gua diambil dari panti asuhan."Angkasa terkejut mendengar ucapan Samudra.
"Kaget? Gua juga awalnya, tapi itu kenyataannya. Gua alasan gua dibawa ke rumah dan diambil oleh keluarga lo."
"Jadi ini punya lo," ujar Samudra, menunjuk ke dadanya.
"Terima, dan bantu gua mewujudkan alasan gua dibawa ke rumah lo."
"Gua merasa sudah cukup, kasih sayang dari kalian belakangan ini sudah sangat cukup buat gua. Bantu gua membalas semuanya, Asa."
"Murah juga hidup lo, Sa," ujar Angkasa remeh.
"Cuma karena kasih sayang iya? Gua gak nyangka lo semengemis itu cuma buat merasakan kasih sayang?"
"Jadi alasan mereka bersikap baik lo akhir-akhir ini, itu palsu iya?"
"Lo tau, dan lo bahagia? Sejak kapan lo jadi sepengemis ini?" Angkasa tersenyum remeh.
Sebuah pukulan Samudra layangkan pada Angkasa.
Satu tetes air mata meluncur dari mata Samudra. "Iya, gua tau semuanya palsu, sayang mereka, perhatian mereka palsu."
"Jantung gua gua ganti dengan kasih sayang mereka? Iya, dan gua bahagia."
"Mungkin bagi lo itu hanya sekedar sayang, sekedar perhatian, tapi buat gua itu berharga, melebihi jantung ini," ujar Samudra sambil menepuk dada.
"Dari lahir gua dibuang, gua gak tau rasanya disayang, dirawat, dicintai. Gua tumbuh di panti asuhan. Di sana kami terus bersaing hanya untuk mendapatkan sedikit perhatian, ditambah banyak anak kecil yang harus bersaing untuk mendapatkannya dan mereka dianggap lebih butuh dari gua."
"Tiba-tiba ada orang yang menjanjikan, sebuah rumah, sebuah keluarga yang selalu gua minta pada Tuhan."
"Hari dimana gua dibawa ke keluarga lo, rasa bahagianya masih gua rasakan sampai sekarang, sampai akhirnya gua beranjak dewasa, semuanya semakin terasa bahwa gua cuma orang lain. Dan akan selalu menjadi orang lain."
"Bahkan mama dan papa tidak pernah mau ngobrol sama gua, mereka gak pernah sekedar bertanya keadaan gua."
"Sampai akhirnya perhatian mama yang hangat akhirnya bisa gua rasakan, papa yang biasanya selalu datang cuma mukul gua, sekarang mau duduk dan ngajak gua ngobrol, bahkan dia naik rollercoaster bareng gua"
"Dan ajaibnya sekarang gua anak buangan ini punya foto keluarga."
"Jadi rasanya itu cukup adil, rasa sayang yang dari dulu cuma bisa gua bayangkan, sekarang gua bisa merasakannya. Gua bisa mewujudkan satu wishlist gua, yaitu bisa tidur bareng orang tua gua, dan itu cukup adil dibayar dengan jantung ini," ujar Samudra, memperhatikan Angkasa yang sudah terisak.
"Sampai kapan pun gua gak mau nerima jantung lo," ujar Angkasa, kembali memukul Samudra.
Kemudian Samudra berkata, "Diantara kita harus ada yang mati, dan itu gua," ujar Samudra sebelum memukul Angkasa.
Mereka kehilangan kendali dan saling memukul sampai akhirnya mereka dipisahkan.
Juan menyeret Angkasa keluar dari lapangan itu. "Pergi," ujar Juan sambil mendorong Angkasa.
Samudra duduk menunduk di pinggir lapangan, dia meminta semua orang untuk meninggalkannya.
"Sakit," ujar Samudra, sambil mengusap dan memperhatikan darah di sudut bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ujung Samudra
Teen FictionSamudra Arkasana "Kalian nunggu gua matikan? Tunggu sebentar lagi, sedang diusahakan" Angkasa Nathan Wijaya "Kalian cuma berusaha buat gua tetap hidup, tanpa pernah bertanya apa alasan gua ingin terus hidup" Aurora Raza Derandra "Sesekali tanyaka...