Aurora menatap sekilas buket bunga matahari di genggamannya sebelum melangkahkan kakinya menuju makam Samudra. Di sana sudah ada Juan, Malvin, dan Revan yang berdiri menatap gundukan tanah itu dengan raut wajah sedih dan mata yang memerah.
Saat Aurora melangkah, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di pinggir jalan. Dari mobil itu turun Amanda dan Andra dengan langkah yang ragu. Di sisi lain, Angkasa turun dari ojek online. Dia menghirup nafas dalam-dalam, kemudian merapikan jas hitamnya dan melangkah masuk, mengabaikan kedua orang tuanya yang berdiri terpaku.
Langkah Amanda dan Andra terhenti. Rasa ragu memenuhi hati mereka, takut membuat suasana semakin tidak enak. Amanda melangkah mundur saat Aurora mendekat ke arahnya.
"Terima kasih sudah datang," ujar Aurora dengan suara serak sebelum pergi meninggalkan mereka.
Aurora kini berada tepat di depan makam Samudra. Dia menatap sekilas orang-orang yang sudah datang dengan mata yang berkaca-kaca. Aurora mensejajarkan dirinya dengan papan nama milik Samudra. Dia mengusap pelan papan nama itu, kemudian meletakkan buket bunga matahari yang sudah dia bawa tadi.
"Semua di sini, Sa. Maaf kami semua terlambat," ujarnya pelan, mengusap lembut papan nama itu dengan tangan yang gemetar.
Mereka berdoa bersama, layaknya pemakaman pada umumnya. Hanya saja mereka semua sedikit terlambat. Satu per satu mulai pulang, membawa rasa sakit, sedih, dan bersalah mereka. Sekarang hanya tersisa Angkasa yang duduk di depan makam itu. Sejak datang tadi, dia hanya diam di sana menatap gundukan tanah itu dengan mata kosong. Aurora sengaja memberi ruang untuk Angkasa. Dia tahu betapa terluka Angkasa, dia sangat menyayangi Samudra.
"Gimana rumah barunya?" ujar Angkasa dengan suara bergetar.
"Kenapa lo pulang ke sini, Sa?" Angkasa berkata lirih, matanya berkaca-kaca.
"Gua baru sadar, gua jauh lebih benci lo yang diam sekarang daripada semua cerewet lo, Sa." Suara Angkasa semakin serak, penuh dengan penyesalan.
"Lihat, gua udah sembuh," ujar Angkasa, menunjukkan dadanya yang melintang bekas operasi.
Angkasa meremas gundukan tanah itu, menyalurkan rasa sakitnya. Rasanya tidak main-main, setiap hembusan nafasnya semuanya menyakitkan. Air mata mulai jatuh satu per satu.
"Abang, sekarang gua gimana? Lo pergi terlalu jauh. Sampai gua gak sanggup lagi buat jemput lo." Suaranya terdengar begitu putus asa.
"Maaf, malam itu gua nyakitin lo, bentak, dan ngusir lo."
"Tidak pernah gua bayangkan, itu pertemuan terakhir kita."
"Lo gak mau bangun, ayo perbaiki malam itu. Gua gak bakalan biarin lo pergi. Gua bakal dekap lo. Gua akan berdiri membela lo dari siapapun. Gua bakal teriak di telinga lo seberapa gua sayang sama lo, seberapa bangga gua punya abang kayak lo di hidup gua." Suara Angkasa semakin lirih, air mata terus mengalir.
"Kembali sebentar saja Sa. Ayo berpisah baik-baik," ujar Angkasa. Air mata yang sudah dia tahan sejak tadi akhirnya jatuh membasahi gundukan tanah itu.
"Abang, gua takut," suara Angkasa bergetar.
"Gua takut gak bisa nepatin janji gua buat jaga Papa Mama. Gua takut gua gak sehebat lo bisa maafin Papa dan Mama."
"Gua takut gak bisa jaga Aurora, Sa."
"Gua takut lo menyesal memberikan jantung ini untuk gua, Sa."
"Bangun, Sa. Ayo pulang. Gua butuh lo." Angkasa meratap, tangisnya pecah.
Isak tangis kini tidak bisa lagi Angkasa tahan. Dia memeluk gundukan tanah itu dengan seluruh tubuhnya. Sungguh, jika bisa kembali, dia akan memeluk raga Samudra setiap hari. Memeluk gundukan tanah ini sangat menyakitkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ujung Samudra
Teen FictionSamudra Arkasana "Kalian nunggu gua matikan? Tunggu sebentar lagi, sedang diusahakan" Angkasa Nathan Wijaya "Kalian cuma berusaha buat gua tetap hidup, tanpa pernah bertanya apa alasan gua ingin terus hidup" Aurora Raza Derandra "Sesekali tanyaka...