Chapter 38

130 13 0
                                    

Flashback on

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Flashback on

Nama itu adalah laki-laki yang selalu hadir dalam setiap sudut hati dan pikirannya. Samudra Arkasana. Tanggal lahir dan wafatnya tertera dengan tegas, seperti catatan terakhir dari sebuah kisah panjang.

Aurora mendekat, setapak demi setapak, tatapan matanya tidak beranjak dari papan nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah mimpi yang akan berlalu begitu dia terbangun. Dengan tangan yang gemetar, dia mengusap lembut papan nama itu, sebagai usaha untuk memastikan bahwa semua itu nyata.

Tiba-tiba, semua kekuatan dalam dirinya merasa terhempas, dan Aurora merasa lututnya lemas. Dia tidak lagi sanggup mempertahankan berat badannya, dan dia jatuh berlutut di depan makam, tangannya masih meraih papan nama itu, sebagai ungkapan dari perasaan yang terlalu besar untuk diucapkan.

"Jangan khawatir sa, Aurora bukan gua dia gadis kuat" Ujar Kyara seolah ada Samudra yang tengah memperhatikan gadisnya itu.

Kyara mendekat ke arah Aurora, menyampinginya, dan memberikan usapan lembut di punggung gadis itu. Tatapannya penuh pengertian, seolah-olah Kyara bisa merasakan apa yang Aurora alami. Di dalam dadanya, Kyara juga merasakan kehilangan yang datang lagi, mengingat masa-masa di masa lalu.

Beberapa saat berlalu dalam hening. Kemudian, Aurora akhirnya berbicara dengan suara yang tenang, "Bisa tinggalkan gua sebentar, Ky? Gua perlu ngobrol berdua dengan Samudra," katanya, matanya menatap lembut gundukan tanah di depannya.

Kyara mengangguk dengan penuh pengertian, dia memberi senyuman lembut pada Aurora sebelum beranjak meninggalkan tempat itu, memberi Aurora waktu dan ruang untuk berbicara dengan Samudra sendirian.

Sekarang hanya Aurora yang berada di sana. Gadis itu mengambil nafas dalam-dalam, mengumpulkan pikiran-pikiran yang berputar-putar di kepalanya. Dengan lembut, ia mengusap gundukan tanah di makam Samudra, memori-memori indah dan pahit mereka bersama kembali hadir dalam ingatannya. Tawa, keusilan, dan bahkan tangisan mereka terulang kembali seolah baru saja terjadi.

Kemudian, mata Aurora kembali tertuju pada papan nama di makam. "Sekarang udah bahagiakan?" bisiknya, senyuman tipis terukir di wajahnya, tidak ada air mata yang mampu keluar.

"Sekarang lo udah bahagiakan?" tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih mantap, seolah-olah dia sedang berbicara langsung pada Samudra.

"Gua gak tau harus ngomong apa, Sa. Gua gak tau harus bagaimana," gumam Aurora dengan suara bergetar.

"Gua berani melepas lo karena gua cuma pengen lo bahagia, Sa. Tapi bukan bahagia yang begini," lanjutnya, suaranya penuh dengan rasa kebingungan.

"Gimana gua lanjutin semuanya, Sa?"

"Kenapa harus pergi buat bahagia, Sa?"

Aurora hanya diam menatap gundukan tanah itu, seharusnya dia menangis tapi tidak satupun airmatanya mampu turun.

"Seharusnya gua ada di sini saat lo pulang ke rumah untuk terakhir kalinya, Sa. Gua gak tau keadaan terakhir lo. Gua bahkan gak sempat lihat wajah lo untuk terakhir kalinya, Sa. Gua gak tau siapa yang nemanin lo di saat terakhir lo. Gua bahkan gak sempat minta maaf sama lo, Sa."

"Sa, gua takut. Gua harus ngadepin semua ini gimana, Sa?" ujar Aurora dengan suara terputus-putus, seolah kata-kata terjebak di tenggorokannya.

Rintik hujan bersatu dalam satu harmoni yang menyayat hati. Aurora terus diam menikmati kehilangannya, dengan segala perasaan yang begitu rumit dan terlalu besar untuk diungkapkan.

Aurora mencoba meredakan gejolak dalam dirinya, dengan mencoba berbicara pada Samudra yang hadir dalam ingatannya. "Sa, bangun. Ayo pulang sama gua," ujarnya dengan suara hampir putus asa, melontarkan kalimat yang mungkin terdengar tak masuk akal.

Aurora memukul lembut gundukan tanah di depannya, sebagai ungkapan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Beriringan dengan Kyara muncul dengan membawa payung. Aurora duduk di samping Kyara, dan mereka berdua melindungi diri dari guyuran hujan. Dari tempat mereka duduk, Aurora masih bisa melihat dengan jelas makam itu.

"Apa dia sempat bahagia sebelum pergi, Ky?" tanya Aurora tiba-tiba, tatapannya kosong memandang gundukan tanah di hadapannya.

Kyara hanya diam, tidak memberikan jawaban kepada Aurora.

"Belum, ya?" suara Aurora bergetar, mencerminkan penyesalan yang dalam.

Flashback off

"Samudra Arkasana, di sana tertera tanggal lahir dan tanggal wafatnya," ujar Aurora katanya putus-putus menyiratkan penyesalan dan rasa sakitnya.

"Gua ke rumahnya tapi kosong, kemudian gua ke panti dan ternyata tidak ada yang tau kondisi Samudra" Ujar Aurora satu kali tarikan nafas.

"Dimana Samudra?" Tanya Aurora.

"Juan mereka bohongkan?, Samudra baik-baik sajakan? Dia gak mungkin ninggalin gua Juan?" Ujar Aurora menatap harapan dan keputusasaan bersatu di bola matanya.

"Lo udah janji buat jagain Samudra" Tutup Aurora menundukkan pandangannya.

Juan hanya diam, banyak yang ingin dia katakan namun lidah terasa kelu, Juan menatap Aurora yang menunduk dihadapannya, Gadis itu tidak menangis tapi pandangannya kosong, Samudra membawa setengah darinya.

"Samudra gua harus apa?" Batin Juan.

"Gua gagal" Ujar Juan memperhatikan Aurora.

Sebelum Aurora mengambil keputusan untuk meninggalkan kota ini, sebelum dia benar-benar meninggalkan Samudra Aurora meminta Juan untuk bertemu dengannya di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari sekolah mereka. Di sore mendung itu Aurora menangis cukup banyak. Dia tidak berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Sore itu, ucapan Aurora masih terngiang di telinga Juan. Aurora tidak bohong banyak airmata melepaskan Samudra.

"Juan, bisa gak ya gua tanpa Samudra?" Aurora bertanya dengan tawa tipis di antara tangisnya, menyiratkan keraguannya.

"Bisa, karena yang terpenting sekarang Samudra harus bahagia" Lanjut Aurora meyakinkan dirinya yang sebenarnya tidak pernah yakin.

"Gua harus pergi besok,"ucap Aurora dengan suara yang lirih, "Jadi, tolong jaga Samudra"

Juan hanya diam, mengangguk dengan mantap. Dia menerima janji pada Aurora untuk menjaga Samudra tanpa ragu. Namun, sekarang dia merasa seperti telah gagal, bukan hanya pada janji yang dia berikan kepada Aurora, tetapi juga pada janji yang dia berikan pada dirinya sendiri, dia gagal bahkan sampai sekarang dia masih belum berani ke rumah baru Samudra.

"Sekarang, beritahu semua yang lo tau tentang Samudra," ujar Aurora sambil menarik kesadaran Juan.

"Sebagai tanggung jawab lo, ceritain semuanya tanpa pengecualian" tegas Aurora menatap Juan.

Juan menelan ludah, terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan serius, "Oke, gua beritahu semuanya, tanpa pengecualian."

***

Ujung SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang