'48

676 139 40
                                    

Mau tak mau, Targa dan Jeci di suruh ke kamar mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah yang temannya pun tak tau.

Mau membantu juga gimana, mereka aja belum nikah, nggak tau sama sekali cara menyelesaikan permasalahan rumah tangga.

Pintu tertutup rapat.

Targa dan Jeci berjalan ke kasur dalam keadaan hening, baring pun keduanya sama-sama diam.

Targa tau dirinya sekarang kayak anak kecil. Nggak sepantasnya dia berantem sama Jeci di depan teman-temannya.

Tapi mau gimana lagi, dia cuma mau di perhatikan sama Jeci dan Jeci nggak ngabulin itu. Targa marah serta kesal lah.

Keduanya lagi sama-sama merasakan mood orang hamil. Ngidamnya adalah kebalikan dari sifat mereka, dan itu terjadi di hari, waktu yang bersamaan. Dimana ego mereka sama-sama tinggi, dan satupun tak ingin mengalah. Keinginan keduanya harus saling di turutin, tapi sayangnya keinginan mereka berbeda. Yang satu pengen deketan terus, yang satu lagi nggak mau di deketin.

"Om."

Setelah terjadi keheningan yang sangat dalam, akhirnya Jeci membuka suaranya.

Targa menoleh kesamping, menunggu Jeci untuk melanjutkan kalimatnya.

"Aku minta maaf." Mata Jeci berkaca-kaca. "Jeci udah jahat sama Om." Bibir Jeci bergetar menahan tangis.

Targa mengubah posisi nya menjadi duduk. Ia langsung membawa Jeci kedalam pelukannya. "Aku yang harusnya minta maaf Je. Aku nggak dewasa, sudah sepantasnya aku di kutuk."

"Jadi apa?" Tanya Jeci dengan wajah yang sudah berderai air mata.

"Apa aja asalkan jangan jadi kutu." Lirih Targa.

"Aku juga mau di kutuk Om. Jeci udah jahatin Om, mulut Jeci ngomong sendiri Om, padahal Jeci mau peluk Om terus terusan." Jeci melepaskan pelukannya, lalu memukul mulutnya berkali-kali. "Mulut jahat!"

"Emang jahat Je mulut kamu tu, kebiasaan. Sini aku sentil juga mulutnya."

Jeci langsung menutup mulutnya dengan rapat menggunakan kedua tangannya. "Ih nggak mau! Om kan punya mulut sendiri!"

"Mulut aku mah baik Je omongannya, sopan, kalau ada orang tua dia salim." Celutuk Targa asal.

"Mulut aku juga udah jadi baik Om."

Targa terkekeh, ia kembali memeluk Jeci dengan erat. "Cukup tadi aja ya sayang musuhannya. Kalau aku minta peluk, kita langsung pelukan, kalau aku mau makan, kita langsung ke warung."

"Kalau mau kentut, langsung ke kamar Julian." Timpal Jeci.

"Aelah kamu mah kentut mulu omongannya." Kesal Targa.

"Eh kamu nggak ngerasain pusing lagi kan Yang?" Tanya Targa.

Jeci menggeleng.

"Syukurlah." Targa mengelus perut Jeci, "Pinter nggak ngerepotin Ibunya." Targa mengajak ngobrol anaknya di dalam perut yang masih seukuran biji jagung.

"Nanti kalau anak kita lahir, kamu mau di panggil apa Je?" Targa kembali menatap wajah Istrinya.

Jeci berpikir sebentar sebelum menjawab. "Princess sofia."

Targa mendengus pelan, "Bukan itu sayang maksudnya."

Jeci berpikir kembali, "aku mau di panggil hello kitty."

"OUH AKU TAU AKU TAU!!" Seru Jeci.
"Aku mau di panggil Hello Jeci Om!"

"Yang bener aja Je, masa anak kita baru lahir udah disuruh durhaka aja. Mana segala pakai hello lagi." Gerutu Targa.

JeciTargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang