'51

638 127 34
                                    

Kata Orang tua Jeci, Jeci jatuhnya cukup parah. Perkiraan Orang tua Jeci, dia jatuhnya dari tangga nomer 2 paling atas. Soalnya, suara jatuh Jeci itu lumayan keras. Untungnya kepala Jeci nggak mengenai lantai. Jeci jatuh dengan posisi duduk, kaki terbuka lebar. Targa bahkan nggak bisa membayangkan seberapa ngerinya posisi Jeci jatuh.

1 jam lebih mereka menunggu Jeci siuman, dan akhirnya yang di tunggu-tunggu sadar juga. Tapi pas Jeci bangun, lalu dia mengetahui fakta kalau dia baru saja keguguran, disitu Jeci langsung nangis sekencang kencangnya. Jeci di tenangin oleh kedua Orang tuanya, dan Ibu Targa.

Targa sendiri memilih untuk tetap berada di luar ruangan. Dia nggak bisa melihat Jeci menangis sebegitu kencangnya, apalagi terus menyalahkan dirinya sendiri. Jadi biarkanlah Targa menguatkan dirinya dulu di sini.

"Targa." Ibu keluar dari ruangan Jeci, kemudian ia berjalan menghampiri Targa dan Julian.

"Masuk kedalam sana." Suruh Ibu.

Targa menggeleng, "Nanti aja Bu, hati Targa masih lemah. Bisa-bisa Targa ikut nangis di dalam, bukannya nenangin Jeci."

Ibu kemudian duduk disamping Targa, dengan lembut ia membelai tangan besar Putranya. "Jeci butuh kamu A. Nggak masalah kamu nangis di depan Jeci, silahkan nangis sepuasnya sampai hati kamu sama Jeci lega."

Targa terdiam, Ibu melanjutkan ucapannya. "Masuk ya? Kasian Jeci terus nyalahin dirinya sendiri A. Tenangin Jeci, Istri kamu butuh kamu di dalam sana."

"Ibu mau ambil baju kamu sama Jeci, kunci Apartement mana?"

"Masih di Cafe Bu." Targa bahkan nggak bawa HP kesini, karena tadi Julian tiba-tiba tarik dia keluar kan.

"Ya udah. Adek ayo anterin Ibu ke Cafe Aa." Ibu menarik Julian untuk segera berdiri. "Kamu cepetan masuk A." Kemudian Ibu dan Julian langsung berjalan meninggalkan Targa.

Targa mengatur nafasnya dulu sebelum berdiri. Setelah itu ia berjalan menuju ruangan Jeci. Pas di depan pintu dia samar samar mendengar suara dari dalam.

"Gimana biar dedeknya bisa balik lagi ke perut aku Mami?"

"Om nunggu dedeknya keluar dari perut, tapi aku malah bunuh dedek nya Mami."

"Om pasti marah banget sama aku jadi nggak mau ke sini."

"Nggak Jeci sayang, Targa tadi ke Wc dulu katanya, bentar lagi juga kesini, udah jangan nangis ya."

Targa membuka pelan pintu ruangan Jeci.

"Om." Lirih Jeci yang berada di pelukan Maminya.

"Mi, ayo ikut aku ke kantin Rumah sakit." Papi mengajak Istrinya untuk keluar kamar. Membiarkan Suami Istri itu saling meluapkan kesedihannya satu sama lain.

Sekarang hanya tersisa Jeci dan Targa yang ada di dalam Ruangan. Targa menghampiri Jeci yang terbaring.

"Kondisi kamu gimana sayang? ada yang sakit?"

Targa menghapus air mata Jeci yang mengalir di pipi, lalu merapikan rambut Jeci yang menghalangi wajah sembabnya.

"Om aku minta maaf. Aku udah bikin dedeknya hilang, Om pasti marah sama aku." Isaknya.

"Aku nggak marah sayang, ini bukan kesalahan kamu."

"Tapi kan aku udah bikin dedeknya nggak ada."

"Kita jadikan pelajaran aja buat kedepannya. Mungkin emang belum rezeki kita Je punya anak terlalu cepat."

"Beneran Om nggak marah?" Tanya Jeci sambil membersihkan ingusnya yang keluar.

"Iya sayang, udah ya jangan nangis lagi. Sekarang fokus penyembuhan kamu dulu."

JeciTargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang