Chapter 37

243 0 0
                                    

Pagi itu seperti biasa kami bertiga sarapan. Aku, Maya, dan Aldi. Di meja makan, suara dentingan sendok dan garpu terdengar jelas, mengisi kesunyian yang kadang terasa canggung.

"Rin, kamu baik-baik saja kan?" tanya Maya sambil mengoleskan selai di rotinya. Tatapan penuh kekhawatirannya tertuju padaku, seolah mencoba menembus lapisan-lapisan pikiranku yang kacau.

"Aku baik-baik saja, Kak" jawabku dengan suara yang hampir berbisik, berharap kata-kataku cukup meyakinkan tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. Aldi yang duduk di sampingku meletakkan sendoknya, matanya yang penuh dengan kehangatan dan perhatian membuatku merasa begitu terlindungi dan dipahami.

"Aldi, hari ini terakhir ujian ya?" aku berusaha memecah kecanggungan, mengangkat wajahku sedikit untuk melihat Aldi yang duduk di seberang meja.

"Iya, Tante," Aldi menjawab dengan senyum tipis, matanya melirik ke arahku sekilas sebelum fokus kembali pada piring sarapannya.

Maya menatap Aldi dengan bangga. "Sudah siap semua untuk ujian akhirmu, Di?" Ada nuansa keibuan dalam suaranya yang selalu membuatku merasa hangat.

"Awas kalau hasilnya jelek kita tidak jadi ke Bali ya!" ujar Maya menegaskan. Suaranya membuat Aldi tersenyum kecut, seolah-olah ancaman manis itu adalah tambahan beban yang harus ditanggungnya.

Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi mereka, meski benakku terus bergulat dengan pikiran-pikiran yang tak kunjung tenang.

Percakapan ringan mereka adalah jeda sementara dari badai emosi yang berkecamuk di dalam diriku. Aku tahu, keputusanku akan mempengaruhi mereka—tak hanya hidupku sendiri, tapi juga orang-orang yang kusayangi.

"Ibu, Tante, saya berangkat dulu," katanya dengan nada sopan, namun aku menangkap kebimbangan di matanya yang biasanya selalu penuh keyakinan.

Aku berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam hatiku dan tersenyum tipis padanya. "Hati-hati di jalan ya, Di. Tante doakan ujiannya lancar."

"Pulangnya langsung pulang ya, Di," ujar Maya, suaranya lembut namun penuh ketegasan seorang ibu yang penuh kasih. Aldi mengangguk sambil tersenyum, kemudian melangkah pergi, meninggalkan kami berdua dalam diam yang tak nyaman.

Maya menatapku dengan mata penuh keprihatinan. "Rin, kamu yakin baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi, suaranya penuh perhatian dan kasih sayang.

Aku mengangguk perlahan, meski dalam hati masih ada keraguan yang belum siap kuungkapkan.

Keputusan ini tidak hanya tentang aku dan Yanto, tapi juga tentang memulai hidup baru, mungkin dengan Aldi, atau sendiri. Aku tahu, langkah ini akan membawa banyak perubahan.

Setelah rutinitas sarapan selesai dan Maya berangkat melakukan aktivitasnya, seperti biasa aku sendirian di rumah. Rasanya sepi tanpa obrolan ringan Aldi atau tatapan perhatian Maya. Sekarang, aku termenung di depan laptop baruku, layar yang bersinar sendu seolah mengerti kegelisahanku.

Jari-jariku tergantung di atas keyboard, ragu untuk mengetik kata-kata yang sebenarnya ingin kutulis, mengungkap perasaan-perasaan tersembunyi yang menghantui pikiranku setiap hari.

Setelah beberapa saat merenung, tiba-tiba aku menulis judul

"Aku dan Penciptaku".

Tampaknya kata-kata yang selama ini terpendam dalam lubuk hatiku mulai mencari jalan keluarnya. Menulis selalu menjadi pelarianku, tempat di mana aku bisa menumpahkan segala kegelisahan dan kecemasan tanpa merasa dihakimi.

Judul ini sangat tepat, mencerminkan hubungan rumit antara diriku dan entah siapa yang mengatur semua ini.

Aku mulai mengetik perlahan, membiarkan satu kata mengalir ke kata berikutnya, seolah berbicara langsung dengan takdirku—dengan penciptaku. "Apakah aku memilih jalan yang benar?" pikirku sambil terus menekan huruf demi huruf, seakan aku dapat menemukan jawaban yang selama ini kucari di antara baris-baris kalimat yang terus meresap di layar.

Ponselku pun berbunyi, mengeluarkan nada dering yang sangat aku kenal. Pandanganku langsung tertuju pada layar yang menampilkan nama Suamiku. Hatiku segera dipenuhi oleh campuran emosi yang sulit diuraikan—marah, kecewa, lelah, tetapi yang paling dominan adalah rasa malas. Aku malas berurusan dengan drama yang pasti akan menyusul setiap pesan atau panggilan darinya.


~~~~~Lanjut di KK yah Cek Link Di Profile~~~~~

Pemuas Nafsu KeponakanWhere stories live. Discover now