IPPKK 70: Bisikan pada Langit Indonesia

22 0 0
                                    

Bacalah Al-Qur'an! Sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan pertolongan kepada pembacanya.
(H.R. Muslim)

Sesungguhnya Allah mengangkat derajat kaum-kaum dengan Al-Qur'an dan menjatuhkan kaum-kaum yang lain juga dengan Al-Qur'an.
(H.R. Muslim)

Jangan lupa basahi bibirmu hari ini dengan membaca Al-Qur'an, walau hanya satu huruf.
Basahi juga bibirmu dengan berzikir, memuji nama Allah dan ucapkan lah sholawat.

Itu akan sangat berguna untuk hidup, mu!

"Papa, Ayah," seorang lelaki berseru meyebut orang tuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Papa, Ayah," seorang lelaki berseru meyebut orang tuanya. Menghampiri dua pria tua itu. Menyalam mereka satu per satu sembari berpelukan dengan singkat.

"Alhamdulillah. Kau sudah sampai dengan selamat, Jagoan!" Arta melihat putranya dengan tatapan berbinar.

Aarav yang memakai baju kaos berwarna biru black dan dipadukan dengan celana hitam, membuat lelaki itu tampak seperti orang dewasa. Koper yang ia seret juga earphone yang menyumbat kedua telinganya, rambut yang terlihat rapi dari terakhir kali ia pamit pergi, membuatnya seperti sudah menjadi laki-laki yang matang.

"Bagaimana kabar, Papa dan Ayah?"

"Kami baik, Nak."

Keluarga kecil itu berjalan beriringan sembari mengobrol, meninggalkan bandara yang kala itu sangat ramai.

"Kita langsung pulang?" Tanya Arta menatap lekat Aarav. Sementara yang di tatap menggeleng pelan membuat Arta dan Yama mengerti.

Baiklah. Mobil bergerak membelah jalan kota Jakarta. Sore itu sangat ramai. Banyak pekerja yang pulang dengan kendaraan yang bermacam-macam.

Pemakaman kala itu sunyi. Disana mereka sekarang. Dengan racikan bunga mawar satu keranjang yang di beli di depan pemakaman, juga tak lupa sebotol air mineral.

"Assalamualaikum." Salam Aarav lalu menjongkokkan badannya di depan gundukan tanah.

Arta dan Yama mengapitnya dari masing-masing sisi. Memegang pundak lelaki itu. Memberi ketenangan.

Tidak, Aarav tidak akan menangis di depan papa dan mertuanya. Sebisa mungkin ia tahan buliran bening itu agar tidak terjatuh.

"Aarav, pimpin doanya."

Lelaki itu berusaha fokus. Begitu fokusnya hingga tak sadar bahwa kristal bening itu terjatuh di cela bait doa yang ia lantunkan. Suara itu lambat laun bergetar. Tidak, ia tidak boleh lemah sekarang.

Usai berdoa, racikan bunga mawar itu mulai ditaburkan oleh satu-satu orang. Menyusul air juga turut disiramkan di atas gundukan tanah.

"Kau sudah tenang?" Aarav mengangguk. Keluarga kecil itu melenggang, meninggalkan area pemakaman.

Impian Putra Pak Ketua Komite [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang