Epilog

18 0 0
                                    

Bacalah Al-Qur'an! Sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan pertolongan kepada pembacanya.
(H.R. Muslim)

Sesungguhnya Allah mengangkat derajat kaum-kaum dengan Al-Qur'an dan menjatuhkan kaum-kaum yang lain juga dengan Al-Qur'an.
(H.R. Muslim)

Jangan lupa basahi bibirmu hari ini dengan membaca Al-Qur'an, walau hanya satu huruf.
Basahi juga bibirmu dengan berzikir, memuji nama Allah dan ucapkan lah sholawat.

Itu akan sangat berguna untuk hidup, mu!

"Assalamu'alaikum."

Salah satu pemakaman umum yang ada di Jakarta, kembali pemuda itu kunjungi. Kembali jongkok di depan gundukan tanah dan mengusap nisan tersebut. Menaburkan racikan bunga mawar dan mengguyurkan air dari botol mineral ke atas gundukan tanah tersebut.

"Syahida, aku baru aja ziarah dari makam ibu dan mama. Sebelumnya, aku juga udah bisikin pada langit bahwa kita merindukan mereka." Lelaki dengan seragam pilotnya itu, kini menunduk. Suara itu bergetar. Itu pasti. Entah mengapa, ia benar-benar belum bisa untuk bersikap biasa saja jika sudah dihadapkan dengan gundukan tanah tempat peristirahatan milik Syahida.

"Kamu bahagia, 'kan? Owh iya, ini adalah wish list kamu yang menjadi impian, aku. Kamu mau denger apa aja yang udah berhasil?" Lelaki itu bergumam walau tau bahwa ia tak akan mendapatkan respon apapun.

Ia keluarkan secarik kertas kusut itu dari dalam saku seragamnya. "Yang pertama, aku rasa udah tercapai walau kita tak boleh puas dengan apa yang kita lakukan. Karena selagi masih bernafas, kita harus berguna bagi orang lain yang membutuhkan. Aku menyadari itu sekarang. Hidup terlalu singkat jika menghabiskan waktu hanya untuk diri sendiri tanpa adanya rasa empati pada sesama." Aarav menatap kertas yang sudah terlebih dahulu ia ceklis-ceklis.

"Yang kedua, kek nya udah juga. Ayah dan papa bangga sama aku karena udah berhasil jadi captain pesawat."

"Yang ketiga, jelas udah. Alhamdulillah."

Aarav terus saja berbicara sembari mengusap nisan berwarna hitam tersebut. Sesekali nafasnya tercekat sebab sesak yang menggumpal di dadanya.

"Yang keempat juga udah. Syahida, aku ga bakal bisa buka hati aku lagi. Kamu udah menguncinya dengan begitu rapat. Jangankan berusaha ingin membuka, kuncinya aja aku tak tau dimana." Aarav mengusap buliran bening yang mulia terjatuh dari pelupuk matanya.

"Kamu telah membawanya."

Aarav merasakan hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Sore itu terasa begitu berbeda. Aarav kembali melanjutkan bacaan catatan impiannya.

"Hm, yang kelima—udah." Aarav menyunggingkan bibirnya membentuk senyum tipis. Meletakkan satu jarinya ke dagu, berpikir.

"Jika di pikir-pikir, sifat kita itu kontras ga sih? Iya 'kan? Iya. Yang paling kelihatannya, bobrok kita." Aarav tertawa kecil hanya demi sesaat kemudian menunduk lemah.

"Yang kelima, udah, Syahida. Aku sudah menikah dan memberikan semua sisa cinta ku hanya pada istriku."

Pemakaman itu hening sejenak. Hanya benar-benar Aarav yang berada disana. Lelaki itu melihat kertas catatan nya dengan lamat. Tersenyum miris.

"Hidup bahagia bersama keluarga," bacanya pelan.

"Aku akan mencobanya, untukmu."

ʘ⁠‿⁠ʘ✈️ʘ⁠‿⁠ʘ

Impian Putra Pak Ketua Komite [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang