Dua hari sejak Eyza tertangkap melakukan panggilan video dengan teman perempuannya, Sinna masih bertahan dengan sikapnya. Ia masih enggan dihubungi oleh Eyza, apalagi harus menemuinya saat Eyza berkunjung ke rumah. Meski ada Qary sikap Sinna masih sama, diam, dingin dan tak menanggapi celoteh kakak beradik itu.
Sore ini, setelah pulang dari ruko Sinna memutuskan untuk berjalan-jalan di dekat monumen pahlawan yang ada di pusat kota. Sengaja ia tak mengabari Eyza karena masih teringat jelas tentang kebohongan yang dibuat oleh Eyza. Sinna tahu jika dirinya langsung pulang ke rumah, maka sudah pasti Eyza datang ke rumah dan memaksanya untuk menemui Eyza.
"Kenapa gue jadi kayak orang gila gini sih. Ke monumen sendirian. Duduk kayak gini sendirian. Huft." Ucap Sinna menghela nafasnya panjang.
"Semoga aja nih ga ada banci mangkal hari ini. Kan gak lucu kan kalau gue tiba-tiba di kejar-kejar banci di sini. Mana perginya sendirian lagi." Gumamnya lagi.
Belum rapat ia menutup mulut tiba-tiba ada yang memegang bahunya dari belakang. Jantung Sinna sudah berdegup tidak karuan. Ia refleks menutup mata dan memegang ujung kerudung segi empatnya dengan sangat kencang.
Ya Allah jangan banci ya Allah. Jangan ya Allah. Mau lari kemana gue.
Sinna sudah bersiap akan berdiri dan lari sekencang yang ia mampu. Namun suara yang tak asing membuatnya mengurungkan niat untuk berdiri.
"Dek Sinna?" Panggil Budi.
Mas Budi?
"Dek." Panggilnya lagi membuat Sinna membuka matanya dan spontan menyingkirkan tangan Budi dari bahunya.
Semoga ini lebih aman daripada ketemu banci.
"Mas Budi?"
"Kamu ngapain sore-sore di sini sendirian? Ini udah hampir Maghrib lho." Tanya Budi yang sedari tadi sudah melihat Sinna duduk di bangku taman itu sendiri.
"Gapapa mas. Lagi pengen main sendiri aja. Lagian di seberang jalan ada masjid. Nanti kalau adzan Sinna kesana dulu. Jawab Sinna sambil menunjuk ke arah masjid. "Mas Budi ngapain di sini?"
"Habis dari toko cat di ujung jalan sana. Kebetulan parkir di dekat sini. Eh lihat kamu duduk sendirian ya tak samperin aja."
"Oh. Sinna denger katanya mas Budi mau nikah eh apa udah nikah?" Tanya Sinna yang membuat Budi tersenyum.
"Iya habisnya kamu nolak saya sih." Jawab Budi sedikit bercanda.
"Yeuu mas Budi yang jadiin Sinna second choice, dirinya yang merasa jadi korban." Jawab Sinna kelewat jujur membuat Budi tertawa.
"Emang cewek pinter tuh gak bisa dibohongin."
"Niatnya aja udah gak baik dari awal. Ya pasti ketahuan lah." Jawab sinna sedikit meluapkan emosinya pada Budi.
"Ya maaf dek. Kan siapa tahu ada kesempatan."
"Kesempatan apa? Kesempatan nyakitin Sinna?" Tanya Sinna membuat senyum luntur dari wajah Budi.
"Iya udah gak usah di bahas deh, saya minta maaf sama dek Sinna. Dimaafin kan?"
"Hmm." Jawab Sinna datar.
"Kalau ga bisa jadi pendamping, masih bisa jadi temen kan?" Tanya Budi sekali lagi.
"Apasih mas Budi. Orang tiap Senin ke toko kok pakai ijin buat jadi temen. Ga jelas." Budi hanya tersenyum mendengar jawaban Sinna. Sedari tadi memang Sinna menanggapi obrolan Budi, namun matanya tak berpaling dari lalu lalang kendaraan yang sedikit macet sore ini.
***
Diantara kemacetan yang ada di hadapan Sinna. Ada sepasang mata yang menangkap keberadaan Sinna. Namun ia justru mengalihkan pandangan agar orang yang bersamanya tak curiga.