Sudut Pandang Sinna
Samar-samar pandanganku mulai terang. Ku lihat seberkas putih yang kupastikan adalah langit-langit dari tempatku berbaring. Lalu perlahan ku dengar suara ibu yang begitu lembut masuk menelisik ke dalam pendengaranku.
"Nduk." Ucapnya sambil tersenyum lega.
Diusapnya pucuk kepalaku yang sudah jarang ia lakukan, entah kapan terakhir kali bahkan aku sendiri lupa. Banyak beban yang sudah jarang ku bagi padanya mengingat usia senjanya yang tak mungkin ku tambah dengan pikiran yang membuatnya tak tenang. Ibu selalu tahu kuatku, tanpa sekalipun melihat lemahku.
"Sudah bangun nduk?" Tanyanya lembut membuatku mengangguk.
Aku mengedarkan seluruh pandanganku. Mencari satu orang yang pasti kalian semua ketahui. Suamiku, yang kini belum terlihat disampingku. Mungkinkah kecewanya padaku begitu membuncah, sehingga ia membiarkanku seorang diri menerima kesakitan ini. Jika ini hukuman atas ketidaksiapan ku menerima takdir waktu itu, mengapa begitu menyakitkan Tuhan?
"Minum dulu ya nduk?" Tawar ibu sambil menyodorkan segelas teh hangat lengkap dengan sedotan agar memudahkan ku meminumnya.
"Sekarang istirahat lagi. Apa mau makan dulu?" Aku menggeleng. Hasratku untuk makan bahkan tak ada sama sekali. Rasanya aku hanya ingin terus meratapi kebodohanku yang tak bisa menjaga sesuatu yang menjadi kebahagiaan suamiku.
Jika saja aku pasrah menerima takdir waktu itu. Jika saja aku tak harus berpikir siap atau tidak siap. Jika saja aku langsung menyambut kehadirannya dengan perasaan bahagia. Mungkin saja Tuhan berkenan menghadirkan ia lebih lama, hingga waktu perjumpaan diantara kami tiba. Ah maafkan aku banyak menuntut atas takdirmu Tuhan.
"Jangan melamun nduk. Semua yang terjadi atas kehendak Gusti Allah." Ucap ibu menyadarkan kembali diriku dari semua pengandaian bodoh yang terlintas dalam kepalaku.
"Ibu kesini sama siapa?" Tanyaku pada ibu yang tengah duduk di kursi samping brankar tempatku berbaring.
"Sama bapak. Tapi bapak duduk di depan, takut Eyza nyari dan gak ketemu ruangannya."
Astaghfirullah. Batinku lirih.
***
Pikiranku melayang. Kalimat-kalimat negatif membuncah didalamnya, semakin menyesakkan dadaku. Tak cukup kehilanhan anak, apa aku juga harus kehilangan rasa cinta suamiku? Sehebat itu kecewamu sehingga aku kau biarkan seorang diri menghadapi perasaan ini. Aku tak cukup baik menjadi istrimu, dan ternyata sangat buruk untuk menjaga amanahmu.
"Sudah jangan dipikirkan terus nduk. Nanti makin drop badannya. Harus ikhlas, harus legowo. Ingat selalu pesan bapak dari dulu, gak ada satupun hal terjadi di dunia ini kecuali Gusti Allah pengen kita ambil pelajaran sebanyak-banyaknya dari situ." Ibu pasti sama menderitanya melihatku terpuruk. Bahkan senyum yang sedari tadi coba ia nampakkan, terlihat semakin menyedihkan bagiku.
"Maafin Sinna ya Bu." Ucapku lirih membuat satu tetes airmata luruh membasahi pipiku.
"Sinna sudah melakukan yang terbaik. Yang terjadi sudah digariskan sebaik mungkin sama yang diatas. Ibu tahu rasanya sakit, nanti kita obati sama-sama ya nduk." Jawabnya bijak yang sedikit mengobati perasaanku.
Kulihat lagi jam dinding yang terus berputar sesuai arahnya. Semakin kulihat terasa semakin lama waktu berjalan di sekelilingku. Menunggu Eyza tak kunjung masuk ke dalam ruanganku. Apa benar dia meninggalkanku?
***
"Abang dimana Bu?" Tanyaku yang tak langsung dijawab oleh ibu, hanya senyuman yang ia berikan agar aku tak semakin berburuk sangka.