Bab 29

957 104 12
                                    

Sudut Pandang Eyza

Aku berdiri terpaku dibalik tirai dimana ada Sinna di dalamnya. Tubuhku mendadak gemetar. Kakiku tak lagi sanggup melangkah barang satu langkah saja untuk membuka tirai dihadapanku. Rasanya langkahku goyah sudah.

Aku telah menyiapkan satu ruang jika hari ini terjadi, seperti kata bunda. Namun rasanya ruang itu tak pernah cukup menampung segala lara yang baru saja aku terima. Kehilangan cinta yang bahkan belum pernah aku rasakan kehadirannya, ternyata lebih menyakitkan dari yang aku bayangkan.

"Halo le? Kok diam? Ini ibu dan bapak nyusul kesana apa nunggu di rumah?" Ah ya! Aku tengah tersambung dengan mertuaku sedari tadi. Bahkan airmata itu kini harus ku tahan sekali lagi, agar aku tak membuat orangtua keduaku menjadi panik. Apalagi jika harus mendengar berita duka melalui panggilan telepon, rasanya tak sampai hati aku melakukannya.

"Oh iya Bu. Sama tolong siapkan beberapa setel baju Sinna ya Bu. Ini malam Minggu dokter spesialisnya libur. Mungkin Sinna akan di rawat sampai hari Senin." Jawabku tanpa memberitahu kabar sebenarnya pada ibu mertuaku.

"Ya sudah le. Ibu tak siap-siap dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku segera berbalik dari tempatku berdiri. Mencari tempat duduk yang agak jauh agar tak seorangpun melihat airmata yang tak lagi dapat ku tahan. Satu-satunya yang aku butuhkan saat ini adalah bunda. Bukannya egois, aku hanya ingin membagi sedikit kecewa juga lukaku pada bunda.

"Assalamualaikum bunda." Ucapku dengan nada yang terdengar lemah.

"Waalaikumsalam. Ya Allah Za bunda kira siapa tengah malam kok nelfon berkali-kali. Kenapa bang?" Tanya bunda yang terdengar seperti orang yang baru saja terbangun dari tidurnya.

"Sinna Bun.." Ucapku tak lagi dapat menyelesaikan kalimatku, isakanku menjadi jawaban untuk bunda tanpa bertanya lebih lanjut lagi.

"Abang sekarang dimana?" Tanyanya langsung karena tahu keadaan kami tanpa aku memberitahunya.

"Rumah Sakit Medika bunda."

Panggilan teleponku mati begitu saja. Sudah kupastikan bunda akan datang secepat yang ia mampu, bersama ayah tentunya. Sabar dan tabah yang aku bangun, kini sedikit goyah. Aku harus bersikap seperti apa Tuhan?

***

"Za." Panggil bunda padaku dari kejauhan yang aku dengar lirih.

"Bun." Aku langsung menghamburkan diri pada pelukan wanita pertama yang membuatku mengerti bahwa mereka memang pantas mendapat kemuliaan.

"Udah gapapa bang, nangis dulu biar tenang. Keluarin dulu semua perasaannya. Jangan ditahan."

Aku semakin terisak. Sesak yang mendesak dadaku perlahan aku lampiaskan dalam dekapan bunda yang membuat tangisku sedikit tertahan. Sementara ayah terus mengusap kepalaku, agar aku tahu dunia tak membiarkanku menghadapi ini sendiri. Dan jika kekuatan tak secepatnya aku dapat, bagaimana istriku bangkit nanti.

"Istighfar bang." Ucap ayah sesekali yang terdengar begitu lembut ditelingaku untuk pertama kalinya.

"Bebaskan semua perasaan negatif Abang. Abang harus balik ke dalam dengan keadaan tanpa rasa kecewa dan amarah sama Sinna. Sinna pasti lebih hancur dari Abang." Ucap ayah sekali lagi.

"Bun.." Ucapku kembali tertahan. Entah sebenarnya apa yang ingin aku sampaikan, aku sendiri tak mengerti. Jauh dalam kebodohanku, aku ingin menyalahkan Tuhan namun segera ku tepis.

"Jangan berprasangka buruk sama Allah bang. Kamu dikasih jalan hidup seperti ini, karena menurut Allah kamu mampu." Begitulah bunda, yang selalu tahu bahkan ketika mulutku saja tak dapat mengungkapkannya. "Ayo cari mushola. Wudhu. Kalau kecewamu belum hilang, shalat bang. Berdoa. Kita gak punya banyak waktu, Sinna butuh Abang."

Ruko BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang