"Halo mbak Sinna Lo lagi dimana?" Tanya Qary pada Sinna cukup panik di telepon.
"Hah gue lagi di rumah sakit. Kenapa Ry?" Jawab Sinna santai.
"Sama bang Eyza?" Tanyanya lagi.
"Gak lah sendiri." Ucapnya lagi.
"Pantesan si Eyza dari tadi nelponin gue Mulu kayak gak ada kerjaan. Tunggu di situ biar gue jemput." Titah Qary tegas.
"Lah suruh siapa dia ambekan kayak anak kecil. Lo gak usah kesini deh biar gue pulang sendiri. Ini juga lagi nunggu ojol bentar lagi dateng Ry." Cegah Sinna agar Qary tak repot-repot menjemputnya.
"Enggak gak. Gak ada. Gue udah mau jalan nih. Lo tunggu di sana. Udah ngomong macem-macem dari pagi. Gue kira Lo sekarang lagi di atas jembatan mau bunuh diri." Ucap Qary yang membuat Sinna terkekeh.
"Tapi Ry, gue gak enak sama ojolnya dong." Ucap Sinna kembali beralasan.
"Kalo Lo gini, gue makin curiga. Udah tinggal bayar aja tuh ojol. Gue tutup dulu teleponnya. Gak jalan-jalan gue yang ada dengerin semua alasan Lo." Tukas Qary kemudian langsung menutup teleponnya tanpa salam.
Qary menghela nafasnya lega. Sungguh tadi ia mengira Sinna sedang merencanakan bunuh diri, mengingat kalimat-kalimat aneh yang diucapkannya pagi tadi. Belum lagi Eyza yang justru menanyakan keberadaan Sinna pada Qary, membuat Qary semakin tak bisa berpikiran positif.
"Emang gak si Eyza, gak anaknya Widya dua-duanya hobi nyusahin gue. Apa gabisa tuh singa pergi pamit dulu sama suaminya. Giliran kecarian, gue yang dari tadi di boom pesan. Agak lain emang pasutri ini." Omel Qary sendiri sebelum ia menancapkan gas motornya untuk menjemput Sinna di rumah sakit.
Hampir 30 menit Qary berkendara, akhirnya ia sampai di depan lobby rumah sakit tempat Sinna menunggunya. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.27 dimana Qary tadi sudah menyempatkan berhenti untuk shalat Maghrib. Dapat Sinna tebak begitu bertemu dengannya Qary langsung mengomel sejadi-jadinya.
"Apa Lo lihat-lihat." Ucap Sinna judes melihat Qary menatapnya penuh kesal.
"Eh kakak ipar gatau diri. Kalau pergi minimal ijin sama suami ya. Ini malah pergi sendirian gatau waktu. Mana tadi pagi ngomongin soal mati." Sentak Qary membuat Sinna justru terkekeh.
"Hehe maap maap. Lagian bang Eyza kayak anak-anak dikit-dikit ngambek. Udah gitu dari siang gatau kemana. Biasanya nganterin makan siang, ini malah gatau kemana orangnya." Jelas Sinna sambil meluapkan kekesalannya pada Eyza.
"Astaghfirullah! Heh singa, sadar ya Lo. Kalian itu bukan pacaran lagi, yang kalau berantem gengsi-gengsian buat minta maaf. Jangan menye-menye deh. Gak cocok tahu gak." Ucap Qary lagi tak kalah kesal.
"Jadi semua ini salah gue Ry?" Tanya Sinna dengan nada sedih yang dibuat-buat.
"Salah gue hidup diantara dua makhluk yang susah ditebak." Jawab Qary kesal.
"Maafin gue deh." Ucap Sinna memelas.
"Gak!"
"Maafin dong adek ipar." Ucap Sinna lagi.
"Gak!" Tegas Qary lagi.
"Gue sedih lho kalau Lo gak maafin gue." Rayu Sinna kembali.
"Masa bodo." Jawab Qary tak kalah datar kembali.
"Kalau gue sedih, anak dalam perut gue ikut sedih. Lo gak kasihan apa sama ponakan Lo, belum lahir aja udah dibuat sedih sama pamannya." Jawab Sinna lagi yang belum disadari oleh Qary.
"Biarin dia ngerasain kerasnya hidup. Eh eh eh. Bentar." Ucap Qary lalu menatap penuh tanya pada Sinna.
"Kenapa?" Tanya Sinna jahil.