Setelah kemarin acara pernikahan selesai, Gio dan Valeska kembali ke rumah orang tua masing-masing. Meski baru saja resmi menjadi suami istri, mereka tetap pulang ke rumah mereka yang biasa, tempat di mana mereka tumbuh dan merasa nyaman. Namun, ada perasaan aneh yang menyelimuti keduanya, perasaan bahwa semua ini masih belum sepenuhnya nyata. Mereka belum benar-benar merasakan perubahan besar yang baru saja terjadi dalam hidup mereka.
Di rumah, Gio duduk di ruang tamu bersama orang tuanya, Diana dan Martin. Suasana masih dipenuhi oleh sisa-sisa kehangatan dari acara pernikahan tadi. Diana, dengan senyum penuh arti, mulai membuka pembicaraan yang sudah lama ia simpan. "Gio, Nak," katanya dengan suara lembut, "Gio, nanti kamu pindah rumah, ke rumah yang baru." ujar Diana
Gio menatap ibunya dengan bingung. "Apa maksudnya Bun?" tanyanya.
Martin, ayahnya, melanjutkan penjelasan. "Kita udah menyiapkan rumah buat kamu sama Valeska. Kalian harus tinggal bareng di sana ya. Hari ini juga kita akan anter kamu buat pindahan. Jangan pernah kamu sakiti dia, berhenti cekcok kaya kemarin. Sekarang kalian itu udah suami istri. Kalau sampai Ayah tau kalian ngga harmonis dan masih saling benci. Ngga segan segan Ayah cabut semua fasilitas kamu" ujar Martin.
Kebingungan di wajah Gio berubah menjadi rasa kaget. Dia belum pernah mendengar rencana ini sebelumnya. "Yah. Kesepakatan awal kan yang penting Gio setuju buat nikah sama dia biar fasilitas tetep punya Gio,kenapa ada ketentuan baru sih? itu mah ngga adil namanya, Yah. " ujar Gio dengan emosi.
Diana mengusap punggung Gio untuk meredakan emosinya. "Udah Gio, udah cepet sana siap siap. Semua barang-barang kamu udah dikemas dan siap dipindahkan. Kamu hanya perlu siap-siap dan kita akan berangkat ke rumah baru itu."
"Mah, nanti kalau ketauan temen sekolah gimana? nanti kesebar dong mah" ujar Gio khawatir.
"Nggak Gio, kamu tenang aja. Rumah baru kamu itu di perumahan yang elite, perumahan baru, dan yang tinggal di sana juga masih sedikit." ujar Martin.
Gio merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia belum siap untuk ini, belum siap untuk meninggalkan rumah tempat dia tumbuh dan merasa nyaman. Namun, melihat keseriusan di wajah orang tuanya, dia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk menolak. Ini adalah bagian dari tanggung jawab yang harus dia pikul sebagai seorang suami sekarang.
Di tempat lain, Valeska menghadapi situasi yang serupa. Sandra dan Dito, orang tuanya, telah menunggu kedatangannya. Mereka tersenyum hangat ketika Valeska menuruni tangga dan menuju ruang tamu, namun senyum itu membawa kabar yang sama dengan yang diterima Gio.
"Sayang, kami sudah menyiapkan rumah untuk kamu sama Gio," kata Sandra dengan penuh kasih. "Hari ini kita akan pindah yaa"
Valeska terkejut mendengar itu. "Hari ini, Mi?" tanyanya dengan nada tidak percaya.
Dito mengangguk. "Iya, semuanya sudah diatur. Barang-barang kamu udah dikemas dan siap dipindahkan. kamu nanti Miya sama Piya antar."
Valeska menatap orang tuanya dengan tatapan yang sulit digambarkan. Dia merasa perutnya mengerut, bukan karena takut, tapi lebih kepada rasa asing yang kini menghampiri. Hidupnya akan berubah, dan perubahan itu terjadi jauh lebih cepat daripada yang pernah dia bayangkan.
"Yang ada rumahnya kaya kapal pecah, isinya bacotan Gio semua" gerutu Valeska dengan suara sangat kecil.
Seperti Gio, Valeska juga merasa bahwa dia tidak punya pilihan lain. Dia harus menuruti keinginan orang tuanya, meski dalam hati ada perasaan enggan yang tidak bisa dia ungkapkan.
Gio dan Valeska sama-sama duduk terdiam di kamar masing-masing. Mereka merasa hati mereka diaduk-aduk oleh perasaan yang campur aduk, perasaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Mereka tahu bahwa sebentar lagi, mereka akan meninggalkan segala sesuatu yang biasanya anak muda lewati.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...