🌻Part 21. Rumah Bunda

887 96 29
                                    

Valeska dan Gio duduk di balkon yang menghadap ke langit sore yang mulai memerah. Warna jingga dan merah muda melukis langit, menciptakan pemandangan yang begitu tenang dan indah. Balkon itu, dengan angin lembut yang berhembus, terasa seperti tempat pelarian dari hiruk-pikuk dunia. Namun, meski keindahan alam terpampang di depan mereka, keduanya tetap tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Valeska fokus pada laptop di pangkuannya, matanya menatap layar dengan penuh konsentrasi. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, seolah-olah pikiran dan perasaannya tertuang dalam setiap huruf yang ia ketik. Di sebelahnya, Gio duduk dengan santai, namun tidak sepenuhnya hadir di tempat itu. Ia sibuk dengan ponselnya, asyik dengan game yang tengah ia mainkan, membuatnya terpisah dari dunia nyata.

Sesekali, Gio melirik Valeska dari sudut matanya, penasaran dengan apa yang gadis itu lakukan. Dia kembali terbenam dalam layar ponselnya, memilih untuk menjaga keheningan yang mengisi udara di antara mereka.

Angin lembut membawa aroma bunga dari taman di bawah balkon, mengelus wajah mereka dengan lembut, seolah ingin mengingatkan mereka akan keindahan yang ada di sekitar. Tapi baik Valeska maupun Gio, keduanya terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri untuk benar-benar merasakannya. Keheningan itu terasa nyaman, seperti kebersamaan yang tak membutuhkan kata-kata.

Namun, Valeska akhirnya merasa perlu memecah keheningan itu. "Kak," panggilnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin sore.

"Hmm?" Gio menjawab singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.

Valeska menghela napas sejenak, berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Ka Rahel tadi siang marah ya? Gara-gara lo nolongin gue?"

Jawaban Gio datang cepat, namun tanpa emosi. "Iya." Pandangannya tetap terpaku pada layar, seolah pertanyaan itu hanyalah gangguan kecil dari fokusnya.

Valeska merasa bersalah, perasaannya teraduk-aduk. "Maaf ya, gue nggak bermaksud bikin kalian marahan," ujarnya dengan nada pelan, hampir seperti bisikan penyesalan.

Namun, Gio hanya mencibir, "Nggak mau." Jawabannya ringan, nyaris seperti lelucon, tapi cukup untuk membuat Valeska merasa semakin tertekan.

Dengan refleks cepat, Valeska mencubit lengan Gio keras, rasa kesalnya akhirnya meledak. "Ihh, kok gitu sih!" Seru Valeska dengan nada gemas dan marah.

Gio langsung mengaduh, wajahnya meringis kesakitan. "Ah, aduh! Sakit, Valeska!" protesnya sambil mengusap lengan yang terasa nyeri.

"Maafin gue, cepet!" desak Valeska seperti anak kecil yang tidak mau kalah.

Gio menggeleng, menolak sambil tetap bersikeras. "Nggak."

Tanpa berpikir panjang, Valeska berteriak di samping telinga Gio, "Ka Giooo!" Suaranya begitu nyaring, membuat Gio refleks menjauh sambil menutup telinganya.

"Anjir, sakit telinga gue!" keluh Gio sambil menggosok telinganya yang masih berdenging.

"Tuh, kan! Lo tuh ngeselin banget sih!" balas Valeska, masih dengan nada kesal.

Gio mendekatkan wajahnya ke Valeska, menantang dengan senyum nakal yang menggoda. "Kenapa, bocil? Apa? Gue harus apa?"

Valeska terdiam sejenak, kaget dengan jarak yang begitu dekat. Wajahnya memerah, tapi bukan karena marah. "Ihh, mundur dikit kek! Deket banget!" sergahnya sambil mendorong wajah Gio menjauh, membuat Gio tertawa kecil.

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang