🌻Part 22. Usai

874 101 39
                                    

Vote dulu! ⭐

***

Dua minggu telah berlalu. Pukul 06:15 pagi, Gio melajukan mobilnya menuju rumah Rahel. Hatinya tak tenang, seperti ada badai yang berputar-putar di dalam dadanya. Dari semalam, Rahel tak memberi kabar, bahkan beberapa hari terakhir, komunikasi mereka semakin merenggang. Pesan-pesan dari Gio hanya dibalas singkat, atau malah sekadar dibaca tanpa tanggapan. Rasanya seperti berbicara ke dinding, hampa dan tak ada balasan.

Setiap gio menelfon,Rahel akan mempunyai alasan apapun untuk menolaknya, yang biasanya Rahel meminta Gio untuk menemani keluar malam sekedar mencari angin, kini dia tidak pernah memintanya lagi, bahkan ajakan Gio selalu ia tolak. Rasa sayang Gio terhadap Rahel yang begitu besar membuatnya tidak menaruu curiga sedikitpun kepada gadis itu.

Setibanya di depan rumah Rahel, Gio menekan bel dengan ragu-ragu, seperti seseorang yang tengah bersiap menghadapi kenyataan pahit yang tak diinginkan. Pintu terbuka, dan pembantu rumah tangga Rahel muncul, tersenyum sopan, tak menyadari kekacauan yang berkecamuk di dalam diri Gio.

“Selamat pagi, Bi... Rahel ada?” Suara Gio terdengar tenang, meskipun dalam hatinya gemuruh tak bisa dihentikan.

"Oh, Non Rahel udah berangkat dari jam enam tadi, Mas Gio," jawab pembantu itu ringan, seolah berita itu tak berarti apa-apa.

Gio terdiam sejenak, kebingungan merayapi wajahnya. "Dari jam enam pagi?" ulangnya, suaranya terdengar serak. "Kenapa dia nggak bilang apa-apa ya?" gumam Gio.

Pembantu itu hanya mengangkat bahu. "Mungkin ada kegiatan di sekolah, Mas," ujarnya, mencoba menenangkan, tetapi tak tahu bahwa kata-katanya hanya menambah kegelisahan di hati Gio.

Gio mengangguk pelan, kepalanya penuh dengan pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Kalau memang ada kegiatan, kenapa Rahel tidak memberinya kabar? Bahkan pesan terakhirnya semalam pun tidak dijawab.

Masuk kembali ke mobil, Gio melajukan kendaraannya menuju sekolah, tapi pikirannya tidak fokus. Hati kecilnya berteriak bahwa ada yang tidak beres, namun dia mencoba mengabaikan firasat itu, meskipun rasa curiga mulai tumbuh seperti duri yang menusuk perlahan dalam dirinya.

Saat sampai di dekat sekolah, Gio menekan rem mendadak. Matanya terpaku pada sosok Rahel yang turun dari motor bersama seorang pria. Dunia terasa runtuh seketika. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak. "Rahel...?" batinnya bergetar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan sana.

Rahel tertawa kecil bersama pria itu, tawa yang dulu membuat Gio merasa hangat kini terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Mereka tak menyadari mobil Gio yang berhenti tak jauh dari mereka. Tangan Gio mencengkeram kemudi erat-erat, emosi membara di dadanya, siap meledak kapan saja. Kata-kata ART Rahel berputar di kepalanya. "Berangkat dari jam enam? Kenapa dia baru datang sekarang?"

Pikiran Gio dipenuhi dugaan-dugaan yang tak diinginkan. "Kenapa dia gak ngabarin gue? Prasaan kita ngga ada masalah apa-apa." Semua rasanya bercampur aduk dalam dirinya,bungung, sakit hati, marah, dan kecewa, semuanya bergejolak tanpa kendali. Tanpa berpikir panjang, Gio keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju mereka, langkahnya berat, penuh dengan amarah yang tak terbendung.

"Rahel!" Teriaknya, suaranya menggema di sepanjang jalan, membuat Rahel dan pria itu menoleh kaget. Bukan hanya mereka, siswa siswi yang berlalu lalang pun menyaksikan perdebatan itu. Mata Rahel membesar, tak menyangka akan bertemu Gio dalam keadaan seperti ini, biasanya Gio berangkat sedikit lebih siang tapi hari ini pukul 06:37 Gio sudah sampai di sekolah. Pria di sampingnya ikut terperangah, wajahnya penuh kebingungan.

"Eh, Sayang... Aku bisa jelasin. Ini bukan seperti yang kamu pikir!" Rahel mencoba menjelaskan, suaranya gemetar. Tapi bagi Gio, kata-katanya hanya seperti angin lalu. Api amarah sudah terlanjur menyala dalam dirinya, membakar habis semua rasa percayanya.

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang