Pria itu berbalik, senyum tipis yang semula menghiasi wajah Gio kini berubah menjadi lebih lebar, memperlihatkan sisi akrabnya yang jarang muncul. "Hey, Gra," sapanya dengan kehangatan yang tulus, lalu merangkul pundak Agra seolah menyatukan mereka dalam ikatan pertemanan yang lama.
"Loh, Gio. Lo nggak masuk kelas?" tanya Agra dengan alis yang terangkat, mencerminkan rasa penasarannya. Dia adalah teman akrab Gio, mereka pernah berdiri bersama sebagai kandidat Ketua dan Wakil OSIS saat menduduki kelas sebelas. Meskipun akhirnya mereka memilih untuk mundur sebelum pemilihan di laksanakan, namun pertemanan mereka tetap kuat.
Gio menggeleng ringan, wajahnya tetap tenang. "Gurunya berhalangan hadir, jadi gue free," jawabnya dengan nada santai, seolah masalah sekolah hanyalah angin lalu. Setelah itu, tanpa peringatan, Gio melepaskan rangkulannya dari pundak Agra dan menggenggam tangan Valeska. Sentuhan yang tiba-tiba itu membuat Agra mengernyit, pandangannya terpaku pada tangan mereka yang tergenggam. Ada sesuatu yang tak biasa di sini, sesuatu yang membuatnya ingin bertanya-tanya.
"Lo ngapain sama cewek gue?" Pertanyaan Gio muncul dengan nada yang tiba-tiba berubah datar, seperti awan gelap yang menutupi langit cerah. Senyum ramah yang sempat ada kini lenyap, digantikan oleh tatapan serius yang menyingkirkan segala kehangatan.
Valeska hanya bisa tertegun mendengar ucapan Gio. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, mengiringi kebingungan yang tiba-tiba menyelimutinya.
"Cewek? Bukannya cewek lo Rahel?" Agra bertanya dengan nada yang sarat akan kebingungan, seolah dia berusaha memahami teka-teki yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Matanya mencari jawaban di wajah Gio, tapi yang dia temukan hanyalah senyum tipis tanpa riang.
Gio tertawa kecil, tapi tawa itu terasa hambar, tanpa jejak kebahagiaan. "Udah nggak," jawabnya singkat, tapi sarat dengan makna yang lebih dalam.
Agra, yang dikenal suka berkomentar, kali ini tak bisa menahan diri. "Cepet juga lo dapet penggantinya," ujarnya setengah bercanda, meskipun rasa penasaran masih mengintai di sudut pikirannya.
Gio hanya tersenyum tipis sebelum menjawab dengan nada yang halus namun tegas. "Sekarang udah nggak ada urusan lagi sama Valeska kan ? Mending sekarang lo cabut, gue liat, kelas lo ada guru." Meski kata-katanya terdengar lembut, ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan, seperti peringatan yang tak terucap.
Agra tertawa pelan, seolah mencoba meredakan suasana yang tiba-tiba tegang. Tatapannya beralih ke Valeska, yang berdiri dengan senyum tipis di bibirnya. "Val, gue cabut. Nanti bisa kita bicarain lagi di lain hari. Bye," katanya sambil melambaikan tangan dengan ringan, seolah menepis awan keraguan.
"Bye, Kak Agra," sahut Valeska dengan senyum manis yang mungkin sedikit terlalu manis. Dia membalas lambaian itu dengan antusias, namun senyumnya tak kunjung pudar meski Gio telah melepaskan genggaman tangannya.
"Nyengir aja terus, apa tuh gigi nggak kering? Lanjutin aja, sok. Suka kan lo sama dia?" sindir Gio dengan nada setengah bercanda, namun di balik candaannya ada kegetiran yang tersembunyi, seperti luka lama yang kembali terbuka.
Tanpa ragu, Valeska mengangguk mantap, seolah jawaban itu sudah lama terpatri dalam hatinya. "Dia crush gue dulu, tauu." Matanya masih terpaku pada punggung Agra yang semakin menjauh, terlalu sibuk dengan perasaannya untuk menyadari bahwa Gio sudah berbalik dan pergi, meninggalkannya dalam kebingungan.
Valeska tersadar ketika dia menyadari kepergian Gio. "Ka Gio cem... Loh, Kak Gio, kok pergi?" serunya, suaranya melengking dengan nada panik saat matanya mencari-cari sosok suaminya. Tanpa pikir panjang, dia mulai berlari mengejar Gio, meski langkahnya terasa berat.
"Ka Giooo!" Teriaknya lagi, napasnya mulai terengah-engah, tapi dia tak peduli. Yang penting sekarang adalah menyusul Gio, apapun caranya.
"Ih, jalannya cepet banget," keluhnya sambil mencoba mempercepat langkahnya, namun seolah semesta menertawakannya, ia tak kunjung berhasil mendekati Gio.
"Ka Gio, gue minta ma... Aduhh, tuh kan jadi jatohhh," teriaknya saat tiba-tiba terjerembab di atas rumput, lututnya tergores batu kerikil yang tak terlihat. Suara jatuh itu membuat Gio menghentikan langkahnya, dan ketika ia menoleh, dia melihat Valeska duduk sambil mengusap lututnya yang terluka, ekspresi kesakitan terpancar dari wajahnya.
"Bocil, bocil. Makanya jangan lari-larian," ucap Gio setengah tertawa sambil berjalan mendekatinya, meski ada sedikit keprihatinan dalam tatapannya.
"Abisnya Kak Gio main pergi aja," balas Valeska dengan bibir mengerucut, ekspresinya seperti anak kecil yang merajuk setelah mainannya diambil. Gio hanya bisa terkekeh, gemas melihat tingkah laku Valeska yang begitu lugu.
Gio berjongkok di depannya, matanya dengan teliti memeriksa luka di lutut Valeska. "Perih?" tanyanya lembut, meski tawanya masih menggantung di sudut bibirnya.
Valeska menganggukkan kepalanya, "He'em," jawab Valeska dengan wajah yang sengaja dibuat seolah sangat menderita, berharap mendapat lebih banyak perhatian.
Tanpa diminta, Gio meniup luka di lutut Valeska, berharap tiupan kecil itu bisa mengurangi rasa sakitnya. Meski tahu itu tak akan banyak membantu, dia tetap melakukannya dengan penuh perhatian, seolah itu adalah caranya untuk menunjukkan bahwa dia peduli.
"Makanya, jadi orang tuh jangan ceroboh." Gio mencubit hidung Valeska, lembut namun tetap tegas. "Ada aja gebrakan tiap minggunya. Kena voli lah, berantem, diculik, sekarang jatuh. Besok-besok apa lagi, bocil?" godanya sambil mengacak-acak rambut Valeska dengan sayang.
"Ngga papa, biar dapet perhatian kaka suami" celetuknya dengan senyum tengil.
"Cewek tengil." ledek Gio.
Valeska merengut, tapi kali ini ada senyum kecil yang mengintip di sudut bibirnya. "Gendong dong. Kayaknya gue nggak bisa jalan," pintanya dengan nada manja yang tak bisa disembunyikan. Luka di lutut dan sikunya memang tak parah, bahkan disuruh untuk maraton keliling komplekpun dia masih sanggup, tapi ini adalah kesempatan emas baginya untuk bermanja-manja pada Gio.
"Dasar modus," celetuk Gio, tapi senyum di wajahnya tetap ada. Tanpa ragu, dia memapah tubuh Valeska dan membawanya menuju UKS untuk mengobati luka-lukanya.
"Omaygat, firstime gue digendong kakak suami," ujar Valeska, tangannya melingkar erat di leher Gio, matanya terus menatap wajah suaminya yang begitu tegas dan tampan.
"Ganteng banget lagi. Pantes aja gue jatuh cinta," gumamnya lagi, seperti terhipnotis oleh ketampanan Gio, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua.
Gio tersenyum, "Apa? Ulangin dong ngomongnya" tanya Gio, suaranya terdengar lebih serius. Meski dia mendengarnya, ada keinginan kuat untuk mendengar pengakuan itu lagi, dengan nada yang lebih jelas.
"Iya, Kakak Suamii, gue jatuh cinta sama anaknya Ayah Martin" balas Valeska dengan nada gemas yang penuh perasaan. Gio tertawa kecil, menikmati momen itu. Hidupnya benar-benar berubah drastis, dari berpacaran dengan wanita yang sedikit lebih dewasa, hingga sekarang harus menghadapi istrinya yang tingkahnya seperti anak balita.
Namun, di balik tawa dan keluhan, Gio tahu bahwa perubahan ini membawa warna baru dalam hidupnya, warna yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
"Kenapa ngga masuk kelas?" tanya Gio, menundukkan sedikit kepalanya untuk menatap Valeska sejenak.
"Bolos. Gurunya bikin gue ngantuk, mana kalau jam jam terkahir udah bikin bete. Jadi gue keluar, eh liat mamas ganteng." Ujar Valeska, yang ia maksud adalah pertemuannya dengan Agra.
"Di ajarin siapa bolos bolos gitu? Next time,kalau gue tau lo bolos lagi. Gue ngga mau berangkat sekolah sama lo" ujar Gio dengan tatapan sedikit marah.
"Ihh, kok gitu?gue kan cuma bosen."
"Emangnya lo doang yang bosen? gurunya juga pasti lebih bosen sama lo" celetuknya. Berusaha menahan tawa dengan apa yang ia lontarkan.
Valeska menyentil dagu Gio. "kok nakal si?" jawabnya.
Gio terkekeh, "Sama lo doang" jawabnya.
***
Vote ⭐
daaan
Cuma mau ngingetin, 12 part lagi, Tamat😎06/09/24
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...