🌷Part 34. Rumah Sakit

973 101 35
                                    

Di rumah sakit, suasana berubah menjadi momen yang penuh harapan. Setelah tiba di ruang gawat darurat, tim medis segera mengalihkan perhatian mereka kepada Valeska. Gio, Dito, Martin, dan teman-teman mereka berdiri di luar ruang pemeriksaan, penuh kecemasan dan harapan.

Dokter yang memeriksa Valeska adalah seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah yang tenang dan penuh ketenangan. Dia bergerak cepat dan profesional, memeriksa setiap luka dan tanda-tanda trauma pada tubuh Valeska.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Gio, yang tampaknya sudah kehabisan kesabaran, segera menghampiri dokter dengan tatapan penuh harap.

"Dok, gimana kondisi Valeska?" tanya Gio, suaranya bergetar dengan ketegangan.

Dokter tersenyum lembut, meskipun matanya menunjukkan kelelahan. "Valeska dalam kondisi yang relatif baik. Dia mengalami shock akibat pengalaman traumatisnya, dan ada beberapa luka memar serta sayatan, tapi tidak ada luka serius yang mengancam jiwa. Kami juga memastikan bahwa tidak ada indikasi kekerasan seksual."

Mendengar berita ini, Gio merasakan beban berat di dadanya sedikit mengangkat. "Terima kasih, Dok."

Dokter mengangguk. "Kami akan terus memantau kondisinya dan memberikan perawatan yang diperlukan. Yang penting sekarang adalah memberikan dukungan emosional kepada Valeska"

Gio mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. "Baik dok."

Setelah dokter meninggalkan mereka, Gio dan teman-temannya kembali ke ruang di mana Valeska sedang dirawat. Mereka melihat Valeska, yang masih terbaring di ranjang rumah sakit dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Meski terlihat lelah dan pucat, ada sedikit ketenangan di wajahnya.

Dito duduk di samping Valeska, memegang tangannya dengan lembut. "Tenang sayang. kita ada di sini buat kamu. Besok juga Miya kesini"

Valeska membuka matanya perlahan, melihat Gio yang berdiri di dekatnya dengan ekspresi penuh kecemasan. "Ka... Gio," suara Valeska bergetar.

Gio segera mendekat, duduk di samping Valeska dan menggenggam tangannya. "Iya,"

Valeska menatap Gio dengan mata yang masih penuh air mata. "Maafin gue, gue udah..."

Dengan cepat gio menempelkan jari telunjuknya ke bibir Valeska, "Sstt, udah. Jangan bahas itu lagi oke. Yang penting lo selamat." Ucap Gio berusaha baik-baik saja. Jauh di lubuk hati, setiap Valeska mengatakan itu, ia sedikit merasakan kekecewaan, dan sulit menerima kenyataan bahwa Valeska sudah di nodai oleh orang lain, walaupun hanya sebatas kecupan di leher. Pandangan Gio tidak bisa teralihkan dari leher Valeska yang banyak kemerahan.

Dito, Martin dan teman teman, mereka keluar dari ruangan. Di luar ruangan, Dito, Martin, dan teman-teman lainnya berdiri dengan tenang, memberikan privasi kepada Gio dan Valeska untuk berduaan. Mereka merasakan sedikit kelegaan setelah mendengar berita baik dari dokter, meskipun ketegangan malam itu masih menyisakan bekas di hati mereka.

"Ka Gio" panggil Valeska lagi.

"Iya?"

"Gue takut."

Gio memeluk Valeska dengan lembut, menepuk punggungnya dengan penuh kasih. "Jangan takut lagi. Semuanya baik-baik aja. Ada gue, Piya, Ayah, sama temen-temen."

"Kak udah jam lima pagi. Lo pulang ya, siap siap buat sekolah." Ujar Valeska. Gio tersenyum tipis. "Gue izin" jawabnya.

"Kak, lo baru selesai di skors, masa mau izin. Please, lo berangkat ya."

Malam yang panjang dan menegangkan akhirnya berakhir dengan sedikit harapan. Gio bertekad untuk memastikan bahwa Valeska mendapatkan perawatan dan dukungan yang dia butuhkan untuk pulih sepenuhnya, sambil menghadapi kenyataan pahit dari apa yang terjadi dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan bagi mereka yang bertanggung jawab atas penderitaan istrinya.

***

Pagi itu, meski hatinya masih diselimuti kekhawatiran, Gio memutuskan untuk memenuhi permintaan Valeska. Di sekolah, dia duduk bersama teman-temannya di kantin, mencoba mengalihkan pikiran dari kejadian semalam yang masih membekas di benaknya.

Laura, yang biasanya ceria, kini tampak lebih tenang dan serius. "Kenapa gue masih mikirin kejadian semalem aja ya? kaya ngga nyangka gitu ternyata ka Rahel senekat itu"

Dimas, yang duduk di sebelah Shavira, menambahkan, "Semua ini di luar dugaan. Gue nggak habis pikir apa yang ada di kepala dia sampai bisa tega nyakitin Valeska dengan cara kotor."

Gio menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke depan. "Gue sakit hati anjing. Gue pacaran sama modelan busuk kaya dia, gue di selingkuhin, Valeska di culik, dan berani banget tiga cowok itu nyentuh hak gue" ucapnya sangat tajam. Fikirannya kembali menjelajah dimana dia pertama kali melihat Valeska terduduk di atas kursi rapuh dengan kondisi kacau, dan leher yang penuh dengan bekas kecupan. Gio tertawa hambar, "ini salah gue, gue ninggalin Valeska gitu aja di tempat yang sepi"

Bimo, yang duduk di samping Gio, menepuk pundaknya. "Sabar Gi. Yang penting sekarang Valeska selamat, Jangan nyalahin diri lo sendiri, itu semua udah takdir.

Tapi, di balik wajahnya yang berusaha tenang, Gio merasa ada sesuatu yang masih menggantung di hatinya. Kejadian semalam membuatnya sadar bahwa dunia bisa berubah begitu cepat, dan orang yang pernah dia kenal bisa menjadi seseorang yang sama sekali berbeda.

"Brengsek, Rahel." umpatnya dengan suara rendah namun tegas.

Pembicaraan mereka terhenti sejenak, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka tahu, meski hari ini mereka duduk bersama, bahaya belum sepenuhnya berlalu. Kejadian semalam akan selalu menjadi pengingat bahwa ada banyak hal yang tidak bisa mereka kendalikan. Tapi satu hal yang pasti, mereka akan selalu ada untuk saling mendukung, apapun yang terjadi.

Shavira menghela napas, "Menurut kalian, Ka Rabel bakal dipenjara nggak sih?"

Rendra menimpali dengan nada ragu, "Gue nggak tahu pasti, tapi... Rahel kan masih di bawah umur, ya? Apa dia bisa dipenjara?"

Dimas menggelengkan kepala sedikit, mencoba mengingat pelajaran hukum yang pernah dia dengar. "Setahu gue, ada aturan soal umur minimal untuk dipenjara. Kalau nggak salah, di Indonesia, umur minimal seseorang bisa dihukum pidana itu 12 tahun. Tapi kalau umurnya di bawah 18 tahun, dia nggak langsung masuk penjara kayak orang dewasa. Ada sistem peradilan khusus buat anak-anak. Biasanya, kalau dia terbukti bersalah, hukumannya bisa dalam bentuk pembinaan, kayak dimasukin ke lembaga khusus anak atau wajib mengikuti program rehabilitasi."

Gio, yang dari tadi mendengarkan dengan wajah serius, menimpali, "Tapi Rahel udah 17 tahun,Jadi, dia masih masuk kategori anak di mata hukum, tapi tetap bisa dipenjara kalau kasusnya berat, kayak kemarin."

Dimas mengangguk. "Iya, benar. Kalau dia dianggap berbahaya dan nggak bisa dibina lagi, pengadilan bisa memutuskan untuk menahan dia di penjara. Tapi, tetap aja, prosesnya beda sama orang dewasa. Ada pertimbangan khusus buat anak di bawah umur."

Laura menambahkan, "Gue cuma berharap dia bener-bener dapet hukuman yang setimpal. Apa yang dia lakuin ke Valeska nggak bisa dimaafin gitu aja lah."

Percakapan itu berakhir dengan keheningan sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran tentang apa yang akan terjadi pada Rahel. Meskipun mereka tahu hukum akan berjalan sesuai prosedur, namun luka yang ditinggalkan oleh kejadian semalam masih terasa dalam bagi mereka semua.

***





Pembahasannya gini doang? dih.
Up lagi deh😎

vote dulu ⭐

04/08/24

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang