Malam itu, keheningan rumah Gio yang biasanya penuh ketenangan, sedikit terusik oleh tawa dan canda yang menghangatkan ruang makan. Gio dan Valeska duduk bersisian di meja makan, sementara di seberang mereka, Bi Sari, dengan senyum khasnya yang tak pernah pudar, sibuk mengaduk sup hangat di piringnya. Aroma masakan yang menguar memenuhi ruangan, menambah kesan keakraban yang tak tergantikan.
"Dulu, waktu bibi masih muda, sawah-sawah masih terbentang luas, pohon-pohon juga belum jadi bangunan rumah kaya sekarang. Setiap sore, bibi main ke sawah sama teman-teman, sering juga mancing di sungai sambil mandi-mandian," ujar Bi Sari penuh semangat, matanya menerawang, seolah kembali ke masa lalu yang sederhana namun penuh kenangan.
Valeska tertawa kecil, suaranya menggema lembut di ruangan itu. "Wah, seru banget, Bi. Kalau aku, baru main tanah sedikit aja, Miya udah marah-marah kayak mau ngutuk Malin Kundang jadi batu," celetuknya, membuat Gio tersenyum simpul membayangkan Valeska kecil yang selalu dimarahi.
Bi Sari tertawa mendengarnya, lalu beralih menatap Gio. "Kalau Den Gio, gimana masa kecilnya?"
Gio tersenyum, namun kali ini ada bayangan nostalgia di matanya. "Dulu, Gio sering naik sepeda bareng kakak Gio. Kita suka hujan-hujanan, terus habis itu makan mie instan di warung pojok bareng, pake telur setengah mateng," kenangnya, suaranya agak redup namun penuh kehangatan.
Valeska mengernyitkan dahi, tak menyembunyikan rasa penasarannya. "Hah? Lo punya kakak?" tanyanya, dengan ekspresi sedikit kaget.
Gio mengangguk pelan, senyum tipisnya masih menghiasi wajahnya. "Emang gue belum pernah cerita, ya?" tanyanya, seolah-olah ini adalah kenangan yang jarang dibagi.
Valeska menggeleng kuat, matanya membulat, takjub. "Belum!"
Bi Sari ikut penasaran. "Den Gio anak keberapa?"
Gio menghela napas dalam, seakan mencoba meredam emosi kesedihan yang tiba-tiba muncul. "Gio anak bungsu, Bi. Kakak perempuan Gio udah meninggal," ucapnya pelan, suaranya serak menahan beban yang sudah lama dipendam.
"Meninggal?" suara Valeska meninggi, terkejut, dan penuh rasa tak percaya.
Gio menoleh padanya, memberikan tatapan lembut yang menenangkan. "Iya, Valeska... Nanti gue cerita lebih banyak, ya."ujarnya dengan tangan yang mengusap kepala Valeska.
Namun, Bi Sari masih ingin tahu lebih banyak. "Meninggal kenapa, Den?" tanyanya dengan nada lembut, tapi penuh rasa ingin tahu.
Gio menundukkan pandangannya sejenak, sebelum menjawab dengan suara pelan, "Ada deh, Bi. Maaf ya, Gio nggak bisa cerita lebih lanjut."
Bi Sari tersenyum mengerti, hatinya haru melihat kedalaman emosi yang tersimpan di balik sikap tenang Gio. "Nggak apa-apa, Den. Bibi ngerti kok," jawabnya dengan lembut.
Suasana berubah tenang, hingga akhirnya Bi Sari menoleh ke arah jam dinding, lalu berkata dengan nada perhatian khasnya, "Sudah jam sepuluh malam. Kalian harus tidur, besok kan sekolah."
Gio dan Valeska saling pandang, lalu mengangguk. "Iya, Bi... Kalau gitu, kita tinggal ke kamar, ya," ucap Gio, sebelum bangkit dan menggandeng Valeska, meninggalkan ruangan yang kini kembali sunyi, namun tetap terasa hangat oleh kenangan dan cerita yang tersimpan di dalamnya.
Sesampainya di kamar, Valeska dan Gio tidak langsung tidur. Ketenangan malam terasa sayang untuk dilewatkan begitu saja. Mereka melangkah keluar ke balkon yang langsung menghadap ke taman kecil di belakang rumah. Angin malam yang sejuk menyapa, membelai lembut wajah mereka. Gemerisik dedaunan dan nyanyian jangkrik menjadi latar belakang yang sempurna untuk malam yang penuh keheningan ini.
Valeska duduk di salah satu kursi balkon, sementara Gio berdiri di pinggir, memandang ke arah langit yang dihiasi bintang-bintang. Ada sesuatu di matanya yang tak biasa malam ini, sebuah kedalaman yang jarang ia perlihatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...