Waktu berlari begitu cepat, membawa hari ini pada puncak kesibukan Gio. Tak terasa, ujian terakhirnya sudah selesai, dan perasaan lega menyusup dalam dadanya. Langkahnya menuju parkiran terasa ringan, seolah beban di pundaknya terangkat. Namun, saat ia sampai di antara barisan mobil, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di hadapannya berdiri seorang gadis berambut panjang yang menghalangi jalannya. Aura ketegangan langsung menyelimuti udara di sekitarnya.
Gio mendongak, tatapannya dingin, menusuk seperti es. Sebelah tangannya dengan santai ia masukkan ke dalam saku celana, sementara tangan lainnya menggenggam kunci mobil dengan sesekali ia mainkan. "Ngapain lo?" suaranya rendah, mengandung ketidakpedulian yang tajam. Ada keangkuhan dalam cara dia memandang gadis itu, seolah jarak di antara mereka adalah jurang tak terjembatani.
Gadis itu adalah Rahel. Mantan yang pernah mengisi sebagian dari hidupnya, sebelum semuanya berantakan. Senyum getir tersungging di bibirnya yang tipis, matanya menyiratkan kerinduan yang mendalam, namun terbungkus dalam kepalsuan yang sama. "Aku kangen," bisiknya, suaranya lirih namun sarat dengan harapan yang seolah enggan mati.
Gio tertawa sinis, tawa yang lebih terdengar seperti ejekan daripada kebahagiaan. "Cih, sehat lo?" Suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tepat di hati Rahel. "Setelah semua yang lo lakuin, lo masih bisa ngomong kayak gitu? Dasar, nggak tahu malu." Tatapan Gio mengeras, kebencian yang terkubur lama kini muncul ke permukaan, berderu seperti ombak di laut yang tenang. "Minggir," lanjutnya, dan tanpa ragu, ia mendorong tubuh Rahel. Dorongan itu tak terlalu kuat, tapi cukup membuat Rahel terhuyung ke samping, seperti boneka yang kehilangan keseimbangan.
Namun, Rahel tidak menyerah. Dengan cepat, ia mengejar Gio, melangkah tergesa hingga berada di hadapan pria itu lagi. Matanya penuh dengan permohonan, suaranya merendah, mencoba menembus tembok es yang dibangun Gio. "Gio, maafin aku. Sekarang aku udah nggak ada hubungan apa-apa sama cowok itu," katanya, mencoba meyakinkan, namun terdengar lemah, seperti pecundang yang tak tahu malu. Ada keretakan dalam suaranya yang berusaha dia sembunyikan, tapi tidak luput dari perhatian Gio.
Gio menatapnya dengan penuh kejijikan. "Ya terus?" suaranya datar, penuh kebosanan. Ia merasa percuma membuang waktu mendengarkan alasan yang sudah tak berarti. Di matanya, Rahel hanyalah kenangan pahit yang ingin segera dia lupakan, tak lebih dari itu.
Rahel terdiam sejenak, sebelum mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Aku mau balikan sama kamu," katanya, kata-katanya ringan, seolah tak ada beban sama sekali. Wajahnya polos, seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
"Ngga mau" Suara Gio lebih tajam dari sebelumnya, menusuk tepat di dada Rahel. "Pergi lo sana," sambungnya, kali ini dengan dorongan lebih kuat, membuat Rahel kehilangan keseimbangan lagi. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Gio berbalik, melangkah cepat menuju mobilnya.
Di belakangnya, Rahel memanggil dengan putus asa, "Gio, dengerin aku!" Namun, suaranya hanya menjadi angin lalu, tak lebih dari bisikan yang terabaikan. Gio tetap melangkah, tak memedulikan apapun lagi.
Sesampainya di mobil, Gio membuka pintu dengan gerakan cepat, membiarkan tubuhnya tenggelam di kursi pengemudi. Tapi ketika ia hendak melajukan mobil, Rahel dengan kebodohannya berdiri di tengah jalan, menghalangi laju mobilnya. Gio mendengus, tawa kecil yang lebih menyerupai sinisme keluar dari bibirnya. "Heuh, mana berani lo kayak gitu, Hel. Sok-sokan mau ngalangin jalan, cuma biar gue berhenti," gumamnya dengan nada yang penuh amarah tertahan.
Tanpa keraguan, Gio menekan pedal gas, menggerakkan mobilnya ke depan. Rahel, dalam kepanikan, melompat ke samping, menghindar dari tabrakan yang nyaris tak terelakkan. Gio hanya menggeleng pelan, menyunggingkan senyum tipis yang dipenuhi ejekan, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang semakin meningkat, meninggalkan Rahel dengan segala kepahitannya di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...