Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu untuk pulang. Di tengah keramaian yang perlahan memudar, Valeska sibuk merapikan buku-bukunya yang masih berserakan di atas meja, mencoba meredakan kegelisahan yang tak terlihat di wajahnya.
"Val, lo nebeng nggak?" tanya Shavira, menawarkan dengan senyum hangat.
Valeska menoleh, berpikir sejenak sebelum mengangguk kecil. "Mmmm... boleh deh. Biar ongkos pulang gue utuh," ujarnya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Shavira menimpali, namun Citra yang penasaran tiba-tiba bertanya, "Lo kalau sekolah minta uangnya ke nyokap bokap lo atau Ka Gio?"
Valeska menatap Citra sebentar, sebelum menjawab dengan nada ringan, "Ka Gio lahhh... tapi Piya gue tetap ngasih uang bulanan, soalnya Ka Gio kan masih sekolah." Ada kebanggaan samar di balik jawabannya, seolah ia ingin menegaskan bahwa Gio bukan hanya sekadar pelindung, tetapi juga seorang yang bertanggung jawab.
"Oh gitu... Iya sih, Ka Gio kan belum ada usaha ya," ujar Laura dengan suara yang sedikit merendah.
Valeska tersenyum penuh arti. "No, Ka Gio itu udah punya usaha. Dan kalian tauu? Usaha dia tuh udah besar banget, tempatnya aja udah tiga lantai, terus pegawainya... buwanyak banget!" Antusiasmenya menular, membuat matanya berbinar saat bicara tentang Gio.
"Wih, serius lo? Usaha apa?" tanya Shavira, terbawa oleh semangat Valeska.
"Dia punya brand kaos, namanya apa ya... gue lupa," Valeska berpikir sejenak, mengerutkan kening. "Ah iyaaa, Geevangga," lanjutnya dengan nada bangga.
"What? Geevangga?" Laura terperanjat. "Ih sumpahhhh, itu mah kaos yang sering gue beli, gue sering pake kaos itu!" ujarnya, tak kalah heboh. Tawanya menggema, diikuti tawa yang lebih ringan dari Valeska, Shavira, dan Citra.
"Gila sih. Ini Ka Gio nggak ada niatan buat endorse gue gitu?" celetuk Laura, sambil mengibaskan rambutnya dengan gaya yang dibuat-buat, mencoba mencairkan kehebohan tadi.
Tiba-tiba, obrolan mereka terhenti saat seorang gadis berponi dan berambut terurai berdiri di ambang pintu. "Permisi, ada Ka Valeska?"
Semua mata tertuju padanya. Valeska menatap gadis itu dengan alis terangkat. "Iya, kenapa?"
"Ka Rahel manggil kak," jawab gadis itu, nadanya datar namun cukup untuk membuat Valeska dan teman-temannya saling pandang penuh makna.
"Di mana?" tanya Valeska, nada suaranya berubah sedikit lebih tajam.
"Di deket perpus, kak." Gadis itu menjawab dengan tenang, seakan tahu betul arti dari pertemuan itu.
Shavira mengangkat alis, matanya bertanya kepada Valeska tanpa suara, namun Valeska hanya mengedikkan bahu, seolah berkata 'tidak tau'.
"Mau bahas tentang Ka Gio lagi mungkin," ujar Citra dengan nada penuh sarkasme, mencoba menebak situasi.
"Kayaknya iya," timpal Laura, menyetujui dugaan temannya.
Valeska mengalihkan tatapannya kembali ke gadis itu. "Mm... ok, makasi ya," ucapnya singkat.
"Iya, Ka. Sama-sama." Gadis itu berlalu, meninggalkan kelas dengan langkah ringan, seolah perannya hanya menyampaikan pesan tanpa terlibat lebih dalam.
"Kita ke sana yuk," ajak Shavira dengan suara penuh antisipasi.
Valeska menggeleng pelan. "Kalian dari kejauhan aja, biar gue sendiri yang ngadepin Ka Rahel."
Laura menatap Valeska dengan khawatir. "Lo nggak takut?"
Valeska menyeringai, matanya berkilat dengan ketegasan yang tajam. "Takut? Apa itu takut? Gue nggak kenal," ujarnya, sombong namun penuh keyakinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...