🌻Part 24. Luka dan Harapan

887 109 36
                                    

Vote dulu ⭐

***

Sesampainya di rumah, Valeska langsung menghilang ke dalam kamarnya, seperti melarikan diri dari kenyataan yang menghantui pikirannya. Sementara itu, Gio hanya berjalan ke dapur dengan langkah yang tenang, mengambil sebotol soda dari dalam kulkas, seolah semua baik-baik saja.

Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Valeska merasakan lelah yang tak hanya melingkupi tubuhnya, tapi juga hatinya. Rasanya seperti membawa beban yang tak terlihat, yang terus-menerus menekan. Dia ingin tidur, melarikan diri dari rasa sakit yang menyergap sejak mendengar kata-kata Gio tadi sore. Meski jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, dia tak peduli. Tidur adalah satu-satunya cara untuk melupakan, meski hanya sementara.

Setelah membersihkan tubuhnya dengan gerakan yang mekanis dan hampa, Valeska segera berbaring, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, menyisakan hanya ujung rambutnya yang terurai di atas bantal. Di bawah selimut itu, dia mencoba menenangkan hatinya yang masih bergetar.

Gio masuk ke dalam kamar, dan pandangannya segera jatuh pada Valeska yang sudah terbaring. Raut wajahnya berubah, bingung melihat gadis itu tertidur lebih awal, terlebih dengan tubuh yang terbungkus rapat oleh selimut.

"Val, lo sakit?" tanyanya pelan, nada suaranya terdengar khawatir. Valeska mendengarnya, namun dia tetap diam, membiarkan dirinya tersembunyi di balik selimut, matanya tetap terbuka, menatap hampa ke kegelapan di dalam pikirannya. Pertanyaan Gio hanya menambah rasa sakit di hatinya, seperti duri yang menusuk semakin dalam.

"Val, lo udah tidur?" Gio bertanya lagi, kali ini lebih pelan, hampir berbisik. Namun, Valeska tetap berpura-pura sudah terlelap, menahan napas agar suaranya tidak bergetar.

Gio menyerah, lalu duduk di sofa di pojok kamar, memandang ponsel di tangannya. Tidak ada pesan masuk, tidak ada notifikasi dari Rahel yang biasanya membanjiri layarnya. Hening. Seperti kesepian yang merasuk ke dalam jiwanya.

Musik berjudul 'Love is Gone' dari Slander ft. Dylan Matthew mengalun pelan dari speaker di sudut kamar, liriknya seakan meresap ke dalam hati, menggambarkan apa yang mereka rasakan, bukan hanya Gio, tapi juga Valeska.

Di balik selimut, Valeska membuka sedikit celah, cukup untuk melihat Gio yang duduk terpaku, menatap kosong ke langit-langit. Dia tak ingin bertanya, tak ingin menyelidiki apa yang ada di pikiran pria itu. Namun, rasa lapar mulai mengusik perutnya yang belum diisi sejak siang. Dengan enggan, Valeska menyibak selimutnya dan bangkit, mengalihkan perhatian Gio yang segera menoleh padanya.

"Mau kemana?" tanya Gio, suaranya penuh tanda tanya.

"Mau makan," jawab Valeska, memaksakan senyum yang samar untuk menutupi gejolak yang berdenyut di dadanya.

Gio ikut berdiri, mengikuti langkah Valeska menuju dapur.

"Ngapain?" Valeska bertanya tanpa menoleh, heran dengan tindakan Gio.

Gio bersandar di ambang pintu dapur, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Nemenin lo," jawabnya singkat. Valeska terdiam, bingung dengan sikap Gio. Kadang pria itu peduli, tapi lebih sering membuatnya terluka.

"Sana, lo balik ke kamar aja. Gue ngga mau di temenin" ujar Valeska, suaranya lemah, tanpa semangat.

"Gue mau nemenin lo," Gio menjawab dengan nada yang tak bisa dibantah.

Valeska hanya menghela napas panjang, duduk di kursi, sementara Gio mengikutinya, duduk di seberang meja.

"Lo sakit?" tanya Gio lagi, matanya menatap tajam, seolah ingin menelusuri kedalaman jiwa Valeska, mencari kebenaran yang disembunyikan gadis itu.

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang