Pagi itu terasa cerah, namun kehangatan dalam rumah Gio tak sepenuhnya datang dari matahari. Valeska melompat-lompat kecil ke dapur, suaranya riang penuh semangat, "Good morning, Bi Sari!" serunya.
Bi Sari, yang tengah sibuk menggoreng tempe, spontan menghentikan gerakan tangannya. Alisnya mengerut dengan bingung, matanya menatap Valeska yang berseri-seri. "Artinya apa, Non?" tanyanya, wajahnya dipenuhi kebingungan yang tulus.
Gio dan Valeska saling pandang sebelum terkekeh. Suasana berubah hangat. "Artinya selamat pagi, Bi," jawab Valeska dengan senyum manis, seolah matahari bersinar lebih terang di dalam ruangan itu.
Mendengar penjelasan itu, Bi Sari tersenyum lebar, matanya berkilauan dengan rasa bangga. "Wah, pasti Non Valeska sama Den Gio anak-anak pintar, ya! Sampai bisa bahasa Inggris," ujarnya dengan antusiasme yang tak bisa disembunyikan.
Valeska mengalihkan pandangannya ke Gio, kemudian tertawa kecil. "Ka Gio yang pintar, Bi, bukan aku," jawabnya, menyiratkan kekaguman dalam nada suaranya.
Bi Sari yang kini mematikan kompor, menatap mereka dengan lembut. Dia kemudian duduk di seberang Valeska, senyum di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh sorot mata sendu yang menyejukkan hati. "Pasti orang tua kalian bangga banget, punya anak-anak secerdas dan sehebat kalian," ucapnya dengan suara yang tiba-tiba melemah.
Gio merespon dengan tatapan sekilas ke arah Valeska, penuh tanya tanpa kata. Valeska hanya mengangkat bahunya, tanda tak tahu harus berkata apa. Gio akhirnya mengambil inisiatif. "Bibi kenapa?" tanyanya lembut, mencoba meraba perasaan Bi Sari.
Dengan suara lirih, Bi Sari menghela napas dalam-dalam, lalu mengingat sesuatu yang terasa jauh, namun dekat di hatinya. "Coba kalau anak bibi masih ada, pasti dia juga pintar seperti kalian..." Suaranya seolah menggantung di udara, diikuti keheningan yang menyakitkan.
Pertanyaan perlahan keluar dari bibir Valeska, nadanya hati-hati, "Anak bibi... kemana, Bi?"
Wajah Bi Sari semakin redup, matanya memandang ke suatu tempat yang tak terlihat. "Waktu anak bibi umur sembilan tahun, dia meninggal. Sakit, Non... Bibi nggak punya uang buat bawa dia ke dokter. Suami bibi ninggalin bibi waktu bibi hamil. Keluarga bibi juga nggak bisa bantu apa-apa," jawabnya pelan, seolah menghidupkan kembali luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.
Valeska, yang tersentuh oleh cerita itu, berdiri. Dengan langkah pelan, dia mendekati Bi Sari, lalu memeluknya erat, penuh kehangatan dan empati. "Bibi jangan sedih, ya... Di sini ada Ka Gio sama aku. Anggap aja kita ini anak-anak bibi," ucapnya lembut, menyalurkan kekuatan melalui pelukannya.
Perlahan, senyum kembali menghiasi wajah Bi Sari. Meskipun kecil, itu adalah senyum yang penuh makna. Seolah rasa kehilangan yang selama ini membelenggunya sedikit terobati oleh kehadiran dua anak muda ini.
Mereka kemudian melanjutkan sarapan, sesekali bersenda gurau seperti biasanya. Keheningan tak lagi terasa membebani, melainkan penuh kehangatan dan keakraban yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Setelah beberapa saat, Bi Sari, yang memperhatikan pakaian rapi Gio dan Valeska, menanyakan, "Kalian udah rapi, mau ke mana nih?"
Gio, yang sedari tadi lebih banyak diam dan fokus pada makanannya, menjawab dengan tenang, "Mau keluar, Bi. Valeska minta jalan-jalan."
Bi Sari tersenyum lebar. "Wih, liburan nih ceritanya?" serunya dengan penuh semangat.
Setelah beberapa detik hening, Bi Sari tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang membuat Valeska dan Gio saling berpandangan. "Kalian kok udah nikah? Dijodohin, ya?"
Valeska tertawa kecil. "Haha, iya, Bi. Kita dijodohin," jawabnya sambil mencuri pandang ke arah Gio, seolah menguji reaksinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...