🍀Part 17. Hate or Hati

908 101 26
                                    

Valeska menatap Gio yang masih terbaring di tempat tidur, wajahnya terlihat lebih tenang setelah tadi sempat kesakitan. Namun, detak jantungnya sendiri mulai tidak karuan, terutama setelah kejadian tadi ketika Gio meminta tangannya untuk mengusap perutnya. Perasaan aneh mulai menjalari hatinya, dan dia tidak tahu harus menyebutnya apa. Apakah ini cinta? Atau hanya perasaan simpati karena mereka sekarang suami istri?

"Kenapa gue ngerasa begini, sih?" gumam Valeska dalam hati sambil menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dapur, mencoba menenangkan pikirannya dengan membuat sarapan.

Sementara itu, Gio yang masih di kamar mencoba memejamkan matanya. Dia merasa lebih baik setelah Valeska membantunya tadi, tetapi ada sesuatu yang lain yang terus menghantui pikirannya. Valeska. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan nyaman yang dia rasakan setiap kali Valeska ada di dekatnya. Tapi, dia juga terus menyangkal perasaan itu. Bagaimanapun juga, mereka dijodohkan, bukan karena cinta.

Gio menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Gue ngga cinta sama dia, kan?" ujarnya bertanya ke diri sendiri.

Di sekolah, Shavira, Citra, dan Laura duduk bersama di kantin, sambil sesekali melirik ke arah Rahel yang sedang mencari-cari keberadaan Gio. Mereka semua sudah tahu cerita aslinya bahwa Gio dan Valeska adalah suami istri, tapi mereka memilih untuk diam dan membiarkan Rahel terus bertanya-tanya.

"Rahel lagi nyari Ka Gio tuh," bisik Citra pada Shavira, matanya mengikuti gerak-gerik Rahel yang sedang bertanya tanya ke teman kelas Gio yang sedang duduk di kantin.

Shavira mengangguk pelan. "Iya, gue lihat tadi dia nanya-nanya ke Ka Dimas soal alamat rumah Ka Gio. Jangan sampai ka Dimas ngasih tau deh. Bisa jadi masalah besar ini"

Di kelas, Dimas, Bimo, dan Rendra sedang asyik bermain musik dengan memukul-mukul meja sambil bernyanyi-nyanyi. Mereka mencoba mengalihkan perhatian dari semua kebohongan yang mereka sembunyikan, terutama dari Rahel.

Rahel, dengan ekspresi penasaran yang tak tertahankan, mendekati meja mereka. "Dimas, Bimo, Rendra, kalian tahu nggak alamat rumah Gio? Gue mau jenguk dia. Katanya dia sakit, kan?"

Rendra, yang hampir saja menjawab, tiba-tiba merasakan cubitan keras di lengannya dari Dimas. Dia melirik Dimas yang memberikan isyarat agar dia tidak mengatakan apa-apa.

"Oh, alamatnya? Hmm..." Rendra tergagap, sementara Dimas cepat-cepat menyela. "Rahel, Gio tuh nggak mau diganggu. Dia lagi butuh istirahat total. Mending nanti aja deh jenguknya."

Rahel mengernyit. "Tapi, gue pacarnya, kan? Masa gue nggak boleh tahu dia sakit apa dan dimana rumah dia?"

Dimas menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Rahel, serius deh. Dia lagi nggak mau ditemui siapa-siapa. Gue juga baru dapet kabar dari bokapnya kalo dia butuh istirahat banyak. Jadi, tolong banget, kasih dia waktu buat sembuh dulu."

Rahel masih tampak ragu, tapi dia akhirnya mengangguk pelan. "Yaudah deh, kalo gitu. Tapi tolong kabarin gue kalo ada apa-apa, ya."

Dimas tersenyum tipis. "Pasti, tenang aja."

Setelah Rahel pergi, Bimo tertawa kecil. "Lo hampir aja, Ndra. Untung Dimas cepet tanggap."

Rendra mengelus lengannya yang masih terasa sakit akibat cubitan Dimas. "Iya, sumpah gue hampir keceplosan tadi."

"Emang kenapa dah si Gio ngga mau ngasih tau alamat rumah dia" tanya Bimo merasa bingung, Rendra hanya mengedikkan bahu. Sementara Dimas? pria itu lebih bingung dari pada mereka berdua.

"Gio kan ngga boleh pacaran, mungkin alasan dia ngga mau ngasih alamat ke rahel takut hubungan mereka ketauan bokapnya" ucap Dimas sangat jujur. Memang itu alasan kenapa Gio tidak memberitahu alamat rumahnya dan tidak pernah mengenalkan Rahel ke orang tuanya.

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang