Setelah melewati hari yang melelahkan dengan bergelut dalam ujian, Gio akhirnya sampai di rumah. Tangan kirinya menyangking kantong plastik berisi sate, makanan favorit Valeska. Aroma sate yang menggoda menyeruak dari dalam kantong itu, seakan menemaninya melewati pintu depan.
"Aku datang," ujarnya dengan suara lembut yang lebih ditujukan pada rumah yang tenang daripada seseorang. Langkahnya perlahan memasuki rumah, disambut oleh keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara samar dari televisi yang menyala di ruang TV.
Saat memasuki ruang TV, pandangannya langsung tertuju pada kursi yang membelakangi pintu. Ia mendekat, berniat menyapa Valeska, tapi langkahnya terhenti sejenak. Dia tidak mendengar suara apa pun selain tayangan dari layar TV. 'Kenapa nggak ada respon?' pikirnya.
"Sayang," panggilnya pelan, suaranya mengalir dengan kehangatan yang biasa ia sembunyikan di depan orang lain. Tapi kali ini, hanya keheningan yang membalas panggilannya. Tidak ada tawa manja, tidak ada respon seperti biasanya.
Rasa penasaran menyelusup dalam benaknya. Gio mendekat, berjalan mengitari kursi untuk melihat apa yang terjadi. Saat ia sampai di depan kursi, dia tersenyum kecil melihat Valeska yang terlelap dengan tenang. Rambutnya sedikit berantakan, pipinya tampak sedikit kemerahan, dan napasnya teratur. Wajahnya seperti bayi yang damai di tengah tidur nyenyaknya.
"Heumm, pantesan dia tidur," bisik Gio sambil menggelengkan kepala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Ada rasa hangat di dadanya melihat Valeska dalam keadaan seperti itu, begitu tenang, seolah dunia di sekitarnya tidak bisa menyentuhnya.
Gio dengan hati-hati meletakkan kantong sate di atas meja, memastikan tidak ada suara yang bisa membangunkan Valeska. Dia kemudian berjongkok di samping kursi, mengubah posisi Valeska agar lebih mudah diangkat. Tangannya yang kokoh menyelusup di bawah tubuh Valeska, kemudian dengan lembut ia mengangkatnya. Sentuhan hangat dari tubuhnya terasa nyaman dalam pelukan Gio.
Dengan langkah mantap namun penuh kehati-hatian, Gio menaiki tangga, memastikan setiap langkahnya tidak terlalu keras. Sesampainya di kamar, ia meletakkan Valeska di atas kasur dengan sangat perlahan, seolah ia adalah sesuatu yang rapuh dan harus dilindungi. Kasur itu menerima tubuh Valeska dengan lembut, seperti tangan yang siap memeluknya.
Gio merapikan selimut di atas tubuh Valeska, menyelimutinya dengan kehangatan yang tidak hanya berasal dari kain, tetapi juga dari rasa sayang yang ia simpan jauh di dalam hatinya. Ia menatap wajah Valeska yang masih terlelap, matanya menyapu setiap detail wajah itu. Dalam keheningan kamar, hanya ada suara napas mereka yang berirama, mengalir bersama waktu yang seakan melambat.
Setelah memastikan Valeska nyaman, Gio berbalik dan melangkah keluar kamar, meninggalkannya dalam kedamaian. Di luar kamar, ia menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil.
Gio berjalan kembali ke ruang TV, mematikan televisi yang masih menyala, lalu duduk sejenak di kursi yang tadi ditempati Valeska. Di dalam kesunyian rumah, dia merasa damai.
Jam menunjukkan pukul 16:30. Sinar matahari sore yang hangat menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela kamar Gio, memberikan nuansa tenang pada ruangan. Di meja belajarnya, Gio sedang tenggelam dalam tumpukan buku dan catatan. Matanya fokus pada halaman-halaman yang berisi rumus-rumus matematika yang harus ia kuasai untuk ujian besok. Tangan kirinya sesekali menyentuh pena, mencatat hal-hal penting, sementara tangan kanannya menopang dagu, menahan berat kepala yang terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.
Namun, di tengah konsentrasinya, suara lembut dan manja yang sangat dikenalnya mengusik keheningan itu. "Ka Gio..." Valeska memanggil namanya dengan nada malas, suaranya masih dipenuhi kantuk, seperti anak kecil yang baru terbangun dari mimpi indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...