🌹Part 47. Waktu Berdua

883 94 24
                                    

Malam itu, hujan deras mengguyur, menciptakan simfoni lembut yang memantul dari atap rumah dan dedaunan di taman. Seperti malam-malam sebelumnya, Gio dan Valeska duduk berdua di balkon, menikmati keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara gemericik hujan. Angin dingin sesekali berhembus, menyusup di antara mereka. Valeska merasakan gigil yang perlahan merayap, namun dia memilih untuk tidak menghiraukannya. Dia tak ingin beranjak dari balkon, meski tahu bahwa masuk ke dalam rumah atau mengambil jaket mungkin bisa memberinya sedikit kehangatan.

Gio tampak tenang, menyeruput kopi hangat dari cangkirnya sambil menatap rintik hujan yang berjatuhan di hadapan mereka. Pandangannya terpaku pada titik-titik air yang mengalir, seakan setiap tetes hujan adalah bagian dari sebuah cerita yang hanya bisa dipahami olehnya. Sementara itu, Valeska tak pernah mengalihkan tatapannya dari suaminya. Ada sesuatu yang magis dalam ketenangan pria itu, sesuatu yang selalu menarik perhatiannya tanpa henti.

"Kaka suami," panggil Valeska dengan suara lembut yang hampir tenggelam oleh suara hujan. Gio menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata istrinya. "Iya, sayang, kenapa?" tanyanya, suaranya lembut dan penuh perhatian, seolah membalut dinginnya malam itu.

Sudah delapan bulan berlalu sejak mereka mulai tinggal bersama, namun Valeska masih merasa hatinya berdebar setiap kali Gio bersikap manis padanya. Dia berusaha menahan senyum, mencoba untuk tetap tenang, namun tak bisa menyembunyikan semburat bahagia yang perlahan muncul di wajahnya. Gio, tentu saja, menyadari hal itu, dia selalu tahu bagaimana reaksi Valeska meskipun gadis itu berusaha menutupinya.

"Kaka suami kan udah selesai ujian, itu artinya kaka suami udah ngga sekolah ya?" tanya Valeska, suaranya terdengar agak ragu. Ada kekhawatiran tersembunyi di balik pertanyaannya, sesuatu yang Gio tangkap dengan mudah. Pria itu tersenyum, memahami betul apa yang dirasakan istrinya. Valeska tidak ingin merasa ditinggalkan, terutama setelah mereka semakin dekat akhir-akhir ini.

Tanpa banyak bicara, Gio menggeser meja kecil yang ada di antara mereka dan menarik kursinya lebih dekat ke arah Valeska. Kini, jarak di antara mereka semakin sempit, seolah menghilangkan batas yang sebelumnya ada. "Iya sayang, nanti kan aku bisa antar jemput kamu," ujarnya lembut, sambil menatap langsung ke dalam mata Valeska.

Namun Valeska masih tampak ragu. "Yahhh, nanti aku di sekolah sendirian," keluhnya dengan nada yang terdengar manja. Pandangannya jatuh ke lantai, bibirnya membentuk cemberut kecil, sementara tangannya sibuk memainkan ujung celana pendeknya, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali dia merasa tidak nyaman.

"Lagian kenapa sih? Kan aku ada di sini, kita setiap hari ketemu," jawab Gio, suaranya tetap tenang namun ada senyuman kecil di sudut bibirnya. Dia tahu, tak mudah bagi Valeska untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung, dan dia menghargai cara gadis itu mencoba untuk bersikap tegar.

"Iya tau... Yaudah deh," jawab Valeska akhirnya, menyerah pada kegelisahannya sendiri dan memutuskan untuk mengakhiri dramanya. Meskipun dia tak sepenuhnya puas dengan jawabannya, dia tahu Gio akan tetap ada untuknya, meski tak lagi berada di sekolah bersamanya.

Gio menyadari perubahan ekspresi di wajah Valeska. Dia mendekatkan tubuhnya lebih lagi, memperhatikan bahwa istrinya menggigil sedikit karena dingin. "Kamu kedinginan ya?" tanyanya dengan penuh perhatian. Valeska mengangguk pelan, mengakui tanpa kata-kata bahwa cuaca mulai mengganggunya.

Tanpa berpikir panjang, Gio menyelipkan tangannya di bawah lutut dan tengkuk Valeska, mengangkatnya dengan lembut dalam gendongan ala bridal style. Gerakannya begitu cepat dan penuh kehangatan, seolah tubuh Valeska adalah sesuatu yang rapuh dan berharga, yang harus dijaga dari dinginnya malam.

"Harus masuk, biar kamu ngga sakit," ucapnya, suaranya penuh perhatian dan sedikit cemas. Dengan langkah-langkah mantap, Gio membawa Valeska masuk ke kamar mereka. Dia merebahkan tubuh gadis itu di atas kasur, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhnya sampai pinggang. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya suara hujan yang masih terdengar di luar sana.

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang